Skip to main content

Posts

Showing posts from November, 2012

Terukir Di Bintang

Sayangku jangan kau persoalkan siapa di hatiku Terukir di bintang tak mungkin hilang cintaku padamu...

SATU KATA

c i n t a c i n t a  c i n t a c i n t a  

CITA-CITAKU SETINGGI TANAH

Sri yang lebih suka dipanggil Mey - punya cita-cita menjadi artis. Jono yang bertubuh besar punya cita-cita menjadi tentara. Puji yang suka melamun sambil bermalas-malasan punya cita-cita membahagiakan semua orang.Sementara Agus "hanya" bercita-cita bisa makan di restoran Padang. Alasannya sederhana. Hanya karena Agus setiap hari makan tahu bacem masakan ibunya. Tahu ini adalah buah tangan ayah Agus yang selalu dibawa ke rumah seusai bekerja di pabrik tahu. Agus begitu ingin menikmati makan di rumah makan Padang karena menurutnya orang-orang yang makan di sana bisa makan dengan menu yang bermacam-macam (tanpa tahu bacem tentunya) dan dilayani bagaikan raja. Dibandingkan cita-cita Mey, Jono dan Puji, cita-cita Agus terdengar paling sederhana dan mudah dicapai. Namun untuk menggapai cita-citanya yang "hanya" setinggi tanah, Agus benar-benar berjuang.  Menonton Cita-Citaku Setinggi Tanah membuat saya berpikir bahwa keinginan sesederhana apapun harus kita usah

Bersinar Selamanya

"Aku ngga percaya dia kembali lagi dalam hidup kita. Apalagi setelah apa yang dia perbuat sama kita." "Cinta yang mengembalikannya." "Cinta siapa? Cintaku? Aku benci dia!" "Kamu benci sama dia karena dia pergi padahal kamu berharap dia ada. Itu artinya kamu masih menginginkan dia, masih peduli padanya." Aku menghela napas. Perempuan di hadapanku kemudian melanjutkan perkataannya. "Kalau kamu tidak marah, tidak sakit hati, itu artinya kamu tidak peduli lagi. Kamu tidak sayang lagi padanya." "Dia menyakiti hati kita." "Dia manusia. Mungkin dia menyakiti kita karena kita juga tanpa sadar sudah menyakitinya." Aku heran. Perempuan yang telah melahirkanku ini selalu saja berpikir positif. "Memangnya mama masih cinta sama dia?" "Masih." "Setelah dia membawa pergi harta mama dan menghabiskannya dengan perempuan lain? Mamaaaahhhh...realistis dong, mah. Mama menyakiti diri mama s

Coba Lagi

"Mungkin kamu harusnya dapet Coba Lagi Award!" . Sial! Bisa-bisanya dia berkata seperti itu sambil tersenyum. Apa dia sama sekali tidak iba dengan keadaanku yang mendadak patah hati? "Kamu sih, serba nggak pasti."  "Memangnya dia pasti?" Cih! Sinis sekali sih kata-kataku. "Seenggaknya dia pasti minta aku jadi pacarnya." "Tapi kan kamu maunya sama aku, bukan dia." "Tadinya.. tadinya aku mau banget sama kamu, Rangga. Ngarep, mimpi. Mimpi banget! Tapi kamu nggak mau sih!"  "Aku mau. Tapi malu. Gengsi." "Makan gengsi ternyata nggak enak, kan?" "Kok bisa sih kamu mau sama dia?" "Ya bisa. Aku suka." "Katanya suka sama aku?" "Bukan berarti nggak bisa suka sama dia juga kan?" Aku menghela nafas. Menyesal. Selama ini aku mengingkari aku sungguh sangat menyukai Rara. Aku mencari yang lebih dan lebih dan lebih dari Rara. Tapi yang aku heran lagi-lagi cum

Aku Mau Kamu dan Aku

Sam pulang. Pulang ke rumah orangtuanya di Padang. Tidak ada lagi yang iseng melempari aku dengan kertas ketika aku sedang melamun di jendela kamar kosku yang letaknya berseberangan dengan kamar kosnya. Tidak ada lagi yang mengetuk-ngetuk jendela kamarku di pagi buta demi meminta sebungkus mie instan. Tidak ada lagi yang berkata, "Kamu cantik yaaaah kalo dipikir-pikir, sayang gue ngga ada punya waktu buat mikir". Tidak ada lagi partner bermain walkie talkie di tengah malam. Tidak ada lagi yang menyediakan pundaknya setiapkali aku menangis. Tidak ada lagi Sam di sampingku dan aku sungguh baru menyadari aku begitu sedih ditinggal Sam. Semalaman aku menangis. Rindu pada Sam. Mataku bengkak. Tiba-tiba telepon genggamku berbunyi. Di layarnya terpampang nama " Samsyudin". Itu dia Sam! "Hey, Rini. Udah jangan nangis. Bulan depan gue balik lagi ke kosan. Jemput lo ke Padang. Buat dikenalin ke emak gue, jadi pacar pura-pura." "Kok? Pura-pura?" "

Janji Lalat

"Beibiiii... udahan dulu yah.. aku ada janji jam 12 siang ini ketemuan sama orang." Kali ini susah sekali membujuk si Beibi (panggilan kesayanganku pada suamiku) untuk menyudahi percakapan kami di telepon. Padahal biasanya dia paling cuek. Siang bolong begini mana pernah dia meneleponku. Tapi kali ini dia berubah seperti bayi saja, ingin bercanda-canda denganku lewat telepon. Suara Beibi yang merengek-rengek di seberang sana belum hilang juga. Padahal aku harus sudah ada di Kebun Binatang Kota jam 12 siang ini. Padahal sekarang sudah jam 11 siang dan perjalanan ke tempat pertemuanku itu memakan waktu setengah jam. "Beibiiiii... ya udah kita telponan tapi aku sambil nyari taksi yaaaaah.." Aku mengalah saja. Akhirnya kuputuskan untuk meneruskan percakapan dengan si Beibi di telepon sambil sepanjang perjalanan aku juga harus mengarahkan supir taksi yang ternyata baru sehari jadi supir taksi. Betapa rasanya aku ingin menggunakan tangan kananku untuk mencakar si supir