Skip to main content

CITA-CITAKU SETINGGI TANAH

Sri yang lebih suka dipanggil Mey - punya cita-cita menjadi artis. Jono yang bertubuh besar punya cita-cita menjadi tentara. Puji yang suka melamun sambil bermalas-malasan punya cita-cita membahagiakan semua orang.Sementara Agus "hanya" bercita-cita bisa makan di restoran Padang. Alasannya sederhana. Hanya karena Agus setiap hari makan tahu bacem masakan ibunya. Tahu ini adalah buah tangan ayah Agus yang selalu dibawa ke rumah seusai bekerja di pabrik tahu. Agus begitu ingin menikmati makan di rumah makan Padang karena menurutnya orang-orang yang makan di sana bisa makan dengan menu yang bermacam-macam (tanpa tahu bacem tentunya) dan dilayani bagaikan raja.

Dibandingkan cita-cita Mey, Jono dan Puji, cita-cita Agus terdengar paling sederhana dan mudah dicapai. Namun untuk menggapai cita-citanya yang "hanya" setinggi tanah, Agus benar-benar berjuang. 

Menonton Cita-Citaku Setinggi Tanah membuat saya berpikir bahwa keinginan sesederhana apapun harus kita usahakan untuk diwujudkan. Sebab dari usaha itulah justru terkadang kita baru menyadari bahwa kita mampu melakukan sesuatu jauh melebihi dari yang kita kira kita mampu lakukan.


Pinjam gambar dari sini



Punya cita-cita setinggi langit itu itu biasa. 
Punya cita-cita berguna, itu juga biasa. 
Punya cita-cita yang mulia, itu juga bukan hal yang luar biasa.
Punya cita-cita yang tak terdengar seperti cita-cita, dan berjuang sepenuh hati untuk mewujudkannya..
itu baru luar biasa!!


Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta