Skip to main content

Setengah Memenuhi

Picture is taken from here

Aku menggoyang-goyangkan kaki, mengerut-ngerutkan kening, memainkan alis naik turun dan mengerucut-ngerucutkan bibirku, sambil membisu. Di sebelahku dia menyenggol-nyenggolkan bahunya ke bahuku hingga bahukupun bergerak-gerak ke kanan dan ke kiri karenanya. Namanya Rudi. Dia tampan sekali, mungkin karena keturunan Italy.
"So?"
Rudi menengok padaku memasang wajah ramah dengan senyum jenaka sekaligus mempesona. Aku membelalakkan mata, mengerucutkan bibir lagi dan membisu lagi tetapi bahuku yang naik turun seolah bertanya, "Apa?"
"So..kenapa kamu berhenti menulis? Sebagai pembaca setia novelmu, aku kecewa."
"Karena Danny sudah meninggal, Rudi. Jadi tidak ada lagi yang bisa kutulis di sana. Novel-novel itu ada karena Danny dan sekarang dia lenyap dari bumi ini. Kamu tau bagaimana rasanya berduka kehilangan Danny? Kekasih, inspirasi dan setengah jiwaku?"

Danny adalah malaikat. Ia menyamar menjadi manusia. Menjadi cinta pertamaku. Menjadi kekasih yang paling sempurna bagiku. Bersama Danny aku merasa bagai bidadari yang terbang bersayap cinta setiap saat. Dia tidak pernah sedikitpun menyakitiku, tidak pernah membuat air mataku menetes karena kesedihan. Dialah yang melukiskan senyuman ketika matahari terbit dan terbenam, ketika purnama dan kejora berebut mengambil hati penikmat langit malam, ketika gerimis mengundang pelangi menemani awan dan bahkan ketika rumput malu bergoyang. Danny tampan sekali seperti Rudi, seperti Ken pria pujaan Barbie, seperti Tuxedo Bertopeng yang selalu membawakan mawar bagi Sailormoon, seperti Pangeran yang mengajak Cinderella berdansa dan seperti Romeo yang siap berkorban untuk Juliet. Danny adalah khayalan yang menjadi kenyataan. Karena dialah aku bisa menjadi penulis. Tapi mimpi buruk hari itu menghancurkan segalanya, menghilangkan Danny-ku dan setengah diriku menjadi kosong. Danny-ku yang tampan berubah menjadi tengkorak! Danny mati! Danny meninggal karena pesawat yang ditumpanginya dalam perjalanan dinas meledak di langit! BLAAAMMMM!!! Menghancurkan segalanya menjadi puing-puing. Pesawat Danny menjadi puing-puing, tubuh Danny menjadi puing-puing, malaikatku menjadi puing-puing, mimpiku menjadi puing-puing, cintaku dan hatiku berlomba-lomba hancur berkeping-keping. Musnah sudah! Tidak ada lagi yang utuh! Tidak ada lagi yang penuh! Setengah diriku hilang dan aku menjelma menjadi seonggok kosong.

"Hey, Sam! Kamu melamun? Ah! Bodohnya aku.. Kamu pasti bersedih lagi ya mengingat Danny?"
Rudi menatapku dengan cemas. Aku tersenyum dan menggelengkan kepala.
"No, Rudi. That's okay. I'm just...Entahlah."
Aku menghela napas dalam-dalam. Seperti ada batu menindih dadaku. Rasanya berat dan sesak.
"Oh Samantha, please... Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu merasakan ini. Aku hanya ingin kamu bersemangat menulis lagi. Tulisanmu begitu bagus, menarik dan ditunggu oleh semua penggemarmu. Tidak ada alasan bagimu berhenti menulis, Sam..."
"Rudi please just understand. Satu-satunya alasanku menulis adalah Danny. Sekarang Danny tidak ada, jadi akupun tidak punya alasan menulis lagi."
"Tapi selain punya Danny, kamu juga punya bakat."
"Aku tidak butuh bakat, Rudi! Aku butuh Danny."
"Hhhh... Kau ini sungguh keras kepala, Samantha."

Rudi terlihat putus asa membujukku menulis. Aku tahu niatnya baik. Hanya saja aku memang tidak yakin bisa menulis lagi tanpa Danny di sisiku. Tapi aku juga tidak tega melihat Rudi begitu ingin aku tidak terus-terusan meratapi kepergian Danny dan tenggelam dalam kesedihan. Aku bisa merasakan bahwa Rudi pun pasti tak kalah sedihnya denganku sebab Rudi adalah sahabat baik Danny sejak kecil. Rudi kemudian menjadi teman sekantorku. Dan entah kenapa Rudi bilang sejak pertama kali bertemu, Rudi begitu menyukaiku. Menurutnya aku sangat manis dan diapun teringat akan Danny yang tampan dan lembut hati. Rudi merasa kami akan sangat cocok, itulah sebabnya kemudian Rudi memperkenalkan kami satu sama lain. Feeling Rudi memang tidak salah. Aku dan Danny seperti botol yang bertemu tutupnya. Kami pas, cocok, serasi dan menyenangkan. Yaaa...setidaknya begitulah kata orang-orang di sekitar kami. Tapi...HEEEEYYYY! Kalau Rudi begitu menyukaiku sejak pertama kali melihatku, kenapa dia menjodohkan aku dengan Danny? Kenapa bukan untuk dirinya saja? Kenapa feeling Rudi bisa tepat? Dan kenapa aku tidak pernah menanyakan pada Rudi? Oh My God! 
"Hahaha! Hahaha!"
Rudi kaget melihatku tiba-tiba tertawa sendiri setelah lama terdiam.
"Hey, Sam! Are you crazy?"
"Hahaha! No! I've just realize that i used to be stupid!"
Rudi mengernyitkan dahi, mengangkat kedua bahu dan tangannya. Semakin tidak mengerti.
"That's okay, Rudi. Mmmm...apa kamu mau menceritakan padaku bagaimana bisa dulu kamu tertarik padaku lalu justru mendekatkan aku pada Danny. Apakah itu hanya karena feeling atau...atau bagaimana, Rud..ceritakan padaku lebih banyak lagi tentang hal-hal yang aku tak tahu tentangmu, tentang Danny dan tentang aku."
"Hmm..kurasa ceritaku akan lebih menarik jika dijadikan novel."
"Oh! Kau pikir kau bicara dengan siapa sekarang? Aku pasti bisa membuat ceritamu menjadi sebuah novel yang menarik untuk dibaca. Iya kan?"
"Hahahahahaha!"
Kali ini Rudi yang tertawa terbahak-bahak sementara aku hanya bisa melongo, tidak mengerti.
"So? Kita baru saja membuat sebuah deal, Samantha! Hahaha!"
"Deal? Kesepakatan? Kesepakatan apa?"
Aku makin tidak mengerti.
"Kita sepakat agar aku menceritakan yang ingin kau tahu dan kau akan menuliskannya ke dalam novel barumu! Yeah!"
"Oh My God! Hahahahaha! Yeah, that's a deal, Rudi!"
Tapi..tunggu dulu! Menulis novel? Aku akan menulis novel lagi tanpa Danny?
"Samantha..apa yang kamu pikirkan? Kamu takut menulis lagi?"
"Mmmm..tapi kita sudah membuat deal. Kesepakatan itu janji dan janji tidak boleh diingkari, bukan? Tapi bagaimana mungkin aku menulis tanpa Danny?"
"Kau tetap menulis dengan Danny..dengan Danny yang akan hidup memenuhi  kalimat demi kalimat dalam novelmu. Karena yang akan kuceritakan ini juga tentang Danny, kan?"
"Ya..tentang Danny dan Rudi..dan aku."
Aku tersenyum memeluk Rudi, sahabat kami..sahabatku dan Danny.

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta