Buat saya, berbohong yang paling sulit adalah
berbohong pada diri sendiri. Mengerasi diri sendiri, memarahi diri sendiri,
melarang diri sendiri, semua itu juga sama beratnya. Saya sungguh tidak ingin hati ini terluka
apalagi hancur berkeping-keping. Tapi saya juga tahu kalau bunga di dalam dada
yang kelopaknya masih kuncup dan mahkotanya belum menampakkan keindahannya,
tidak akan pernah mekar. Lebih baik saya injak-injak saja dia sekarang. Biar
layu, biar rusak, biar mati! Toh percuma juga kalau dibiarkan hidup lebih lama,
bunga hati ini tidak akan bisa menjadi indah, tidak akan ada taman bunga, tidak
akan! Nanti juga kalau bukan saya, badai yang akan memusnahkannya.
Sungguh saya tidak ingin terus-menerus menjadi
penjahat dalam drama kehidupan saya sendiri. Tapi waktu tidak pernah memberikan
kesempatan pada saya yang tak bernyali ini, hingga akhirnya saya harus membunuh
lagi membunuh dan membunuh bunga cikal bakal cinta di hati. Laki-laki yang pernah memuja paras saya yang
semanis gula jawa, yang memuji kebaikan hati saya, pada akhirnya semua kecewa,
marah, berteriak dan memaki lalu pergi meninggalkan saya sendiri. Lagi dan
lagi.
Sudah biasa! Bukan hal
baru bagi saya. Bukan yang pertama kali. Tapi tetap saja sakit pasti. Kalau
orang bilang hal yang paling menyakitkan hanya dirasakan ketika pertama kali
terjadi, itu dusta! Sakit ini sudah saya
rasakan berkali-kali. Yang pertama membuat saya terkejut, goyah dan lemah. Yang
kedua dan selanjutnya memang membuat saya lebih kuat, tetapi bukan berarti
sakitnya hilang! Sakitnya ada di sana. Tinggal di dalam luka-luka itu dan
terkadang membuat saya merintih menangis tanpa suara menahan nyeri di
malam-malam yang sunyi.
“Apalagi yang kamu pikirkan?” Dia akhirya
membuka mulut setelah sejak tadi diam memandangi saya yang juga tampak diam,
namun merangkai seribu kata dalam hati.
“Kamu.”
“Kamu menakutkan hal yang sama lagi? Tidak akan
terjadi, sayang. Bukankah sejak awal kita dekat, kamu sudah katakana semuanya?”
“Iya. Tapi tetap saja masa lalu dan masa depan
yang suram itu menghantui saya. Membuat saya takut kamu akan pergi seperti yang
lainnya.”
“Kamu benar. Saya akan pergi. Saya akan pergi
dengan membawa kamu, menuju tempat yang baru. Bukan di sini. Kita bangun istana
kita sendiri di tempat baru. Biarkan tempat ini menjadi persinggahan kita saat
rindu melanda. Sebab bagaimanapun, sebanyak apapun luka yang ada di sini, ini
adalah tempat orang-orang yang kita cintai dan menyayangi kita, tinggal. Tapi
rumah kita nanti bukan di sini, melainkan di tempat yang kita bangun berdua
saja.”
Saya tersenyum dan merangkulnya sambil
menangis. Sungguh ini yang saya inginkan dari dulu. Sungguh sosok seperti dia
yang saya tunggu kehadirannya. Yang mau memungut saya, yang bagaikan buah yang
jatuh dari pohonnya, tanpa memaksa saya untuk tersiksa mengakui bahwa saya buah
yang lahir dari pohon yang akarnya tak punya semangat hidup, dan memaksa
ranting serta buahnya ikut mati bersamanya. Aku tidak mau mati di sini. Aku
masih punya harapan untuk hidup.
“Saya bahagia. Saya sungguh ingin kita
bahagia.”
Dia menggenggam erat kedua tangan saya sambil
tersenyum.
Comments
Post a Comment