Skip to main content

Oh My..!!

Sudah dua bulan ini aku terusik dengan sms yang selalu masuk ke telepon genggamku. Hampi setiap hari dia mengirimiku puisi, menanyakan apakah aku sudah makan atau belum. Aku tidak pernah membalas sms nya karena dia tidak pernah mau menyebutkan namanya. Ups! Aku lupa! Aku pernah membalas sms nya, hanya sekali dan berbunyi : "Kamu siapa?". Namun sayang dia hanya membalas dengan tanda " :) " yang artinya senyum.

Aku sebal sekali pada si pengirim sms sebab dia tidak mau membuka identitasnya sedikitpuntapi dia seolah mengetahui segala hal tentang aku. Dia tahu aku suka warna putih, dia tahu aku suka puisi-puisi, dia tahu aku suka bunga mawar merah yang belum terlalu merekah. Pernah suatu hari dia mengirimiku sms,
"Hay Rosa.. coba kamu keluar ke teras. Aku kirim bunga mawar untuk kamu."
Dalam hati aku meragukan karena kupikir dia hanya iseng. Namun aku penasaran juga ingin membuktikan apakah dia serius atau tidak. Akhirnya aku keluar dan melihat setangkai mawar merah yang sangat indah teronggok di lincak teras rumahku. Aku girang bukan kepalang, tersenyum-senyum sambil melompat-lompat kecil. Dan tak lama diapun mengirim sms lagi
"Aku seneng deh liat wajah kamu yang merona terima mawar dari aku."

Ah! Siapa sih dia sebenarnya? Dia pasti orang yang sangat romantis dan penuh pengertian pada perempuan, beda dengan pacarku. Aku punya pacar, namanya Hans. Dia ituuuuuuuu...jauh dari romantis. Dia sibuk bekerja. Hanya meneleponku setiap sarapan, jam makan siang dan jam makan malam. Meskipun kami satu kota tapi dia hanya mengunjungiku di malam Minggu. Tapi aku sayang pada Hans dan entah kenapa aku yakin Hans sangat sayang padaku. Seandainya si pengirim sms ini lebih tampan dari Hans, aku tetap memilih Hans. Walaupun Hans kalah telak dalam soal betindak romantis.

Lamunanku buyar seketika aku mendengar bunyi sms. Ah! Si pengirim sms itu rupanya.
"Rosa, kamu di rumah kan? Kalo kamu mau ketemu aku, aku ada di teras rumah kamu dengan sekuntum mawar lho..."
Aku kaget bukan kepalang dan spontan berlari ke teras rumah. Mamaku yang hampir kutabrak pun ngomel-ngomel tapi aku biarkan saja. Segera kubuka pintu depan dan kulihat sesosok laki-laki membelakangiku dengan sekuntum mawar. Aku seperti mengenalnya tapi siapa dia, aku seperti tidak asing dengan aroma tubuhnya. Tapi... mana mungkin?

Perlahan si pengirim sms berbalik badan. Adegan ini terasa seperti slow motion dalam film-film. Lalu aku melihat sosok dan wajahnya dengan jelas, terpampang nyata di hadapanku. Dia tersenyum, kemudian meringis manis, menampilkan gigi-giginya yang putih cemerlang dan mengukirkan lesung pipit di pipi kanannya. Sementara aku begitu takjub. Aku kaget bukan kepalang dan menutup mulutku dengan tanganku lalu membukanya kembali,
"Hans? Kamu... kamu yang...?"
"Iya, Rosa... ini aku Hans, pacar kamu yang paling nggak romantis dan paling nggak perhatian."
Aku masih terbelalak.
"Tapi... puisi-puisi, sms-sms itu?"
"Itu semua aku yang buat. Masa kamu lupa kita pertama kali kenalan di acara pentas puisi?"
Aku tertawa.
"Oh, My.... tapi kenapa kamu nggak pernah ngasih aku puisi sebelumnya?"
Tiba-tiba raut wajah Hans berubah tegang.
"Kamu kecewa yah, orang yang biasa kirim puisi ke kamu ternyata aku? Atau kamu terlanjur cinta sama si pengirim sms dan puisi ini dan mulai nggak cinta sama aku?"
Aku tersenyum.
"No. I love you more, Hans..."

Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta