Skip to main content

T-Shirt

"Jadi kapan kamu berangkat, Ay..?" 
Nina bertanya sambil membolak-balik halaman majalah fashion kesukaannya.
"Kalo nggak besok ya lusa, Ay.. Aku tunggu Mbak Vera confirm.  Kan sekarang dia yang jadi leader  aku." 
Aku menghisap lagi rokok yang tinggal setengah batang. Nina mengibas-ngibaskan tangannya memberi sinyal agar aku berhenti merokok. Aku cuek saja. 
"Kalo gitu kamu musti packing nanti malem. Teruuuuussss...jangan lupa yaaaaaah...?"
Nina tersenyum sambil mengerlingkan matanya. Menggemaskan.
"Iya. Oleh-oleh T-Shirt kaaaaan?" 
Kucubit hidung kecilnya.
"Iya, Aaaaayyyy.... dan harus ada tulisan TANAH MERAH."
"Yaaaah, Ayy... kenapa sih nggak yang tulisan PAPUA aja? Yang kaya kamu mau kan belum tentu ada."  
Well, Tanah Merah adalah nama sebuah Ibukota Kabupaten di Papua. Dan aku tidak yakin bisa menemukan T-Shirt bertuliskan TANAH MERAH di sana.
"Ih Ayaaaang..coba dulu apa salahnya sih? Kalo nggak nemu ya udah kaya biasanya aja. Kamu cari yang polos terus kamu sablonin."
Take picture from here

Nina adalah pacarku. Aku memanggilnya "Ay..". Diapun memanggilku dengan sebutan yang sama. Dari sekian banyak perempuan yang aku kenal, dia yang paling pengertian. Hanya satu yang membuatku sering garuk-garuk kepala. Setiapkali aku ditugaskan ke suatu daerah di luar tempat tinggal kami, dia selalu minta oleh-oleh T-Shirt. Tak peduli meski daerah tersebut sangat terpencil.
"Ayyy... kenapa sih kamu selalu minta oleh-oleh T-Shirt? Kenapa bukan makanan khas atau yang lain?"
Nina menutup majalahnya dan menatap jauh ke dalam mataku.
"Ayyy.. kamu tau kan kalo aku ngga mungkin selalu bisa ada di samping kamu dan ngikutin kamu ke semua daerah yang harus kamu kunjungi? Belum lagi kalo daerahnya sulit dijangkau alat komunikasi. Gimana kita mau saling kasih kabar?"
"Jadi kamu ngga percaya aku, Aaay..?" 
Pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu kutanyakan karena aku tahu Nina sangat sangat sangat mencintai aku. Nina kemudian menggenggam tanganku dan menatapku dalam, sebentar. Ia kemudian melepaskan pegangan tangannya dan mengalihkan pandangannya dariku yang ada di sampingnya. Ia menatap lurus ke depan. Entah memfokuskan pandangannya pada apa. Tapi aku sudah paham dengan gesture  nya. Jika demikian ia pasti akan menyampaikan apa yang benar-benar ada di hatinya.
"Aaaay.. aku selalu minta T-Shirt  supaya kamu inget aku ketika kamu harus mencari T-Shirt itu, supaya kamu punya sedikit ruang untuk mengingat bahwa kamu sudah terlanjur menaruhku di sebagian ruang hati kamu dan aku nggak mau pindah dari sana, juga supaya kamu selalu ingat untuk kembali ke aku dengan membawa T-Shirt  itu ke aku.. dan supaya kamu ingat, separuh jiwaku sudah menjadi milikmu."
"So don't worry, Ayy.. because me and the t-shirt and my heart is yours and will always be."
Nina tersenyum.
"Just prove it and don't promise."


Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta