Skip to main content

Mimpi Apa Gue Semalem?

"Lo yakin dompet lo udah lo bawa, Ra?"
Nara mengaduk-aduk isi tasnya lagi. Wajahnya makin pias.
"Duuuuh! Yakin kooookkk! Tapi ngga adaaaaa! Gimana niiih? Tiket masuknya kan ada di situuu! Punya lo juga!"
Aku garuk-garuk kepala. Panik tapi cenderung pasrah. Nara tampaknya kesal melihat reaksiku.
"Ih, Malaaaa! ko lo cuma garuk-garuk kepala siiiih? Lo bantu cariin kek apaaaa keeeeekkk!"
Aku merogoh-rogoh isi tas, kantong pakaian dan bahkan stockingku.
"Ngga adaaaaa, Raaaa! Kan emang dari awal elooo yang beliii, elo yang nyimpeeeen, elo yang bawaaaa... sekarang masa iya gue bisa sulapan tiketnya tau-tau ada di gue?"
Mungkin karena putus asa, Nara akhirnya melangkah ke pinggir lapangan berumput. Ini semua salah Nara sebetulnya. Dia memang ceroboh dan ini bukan pertama kalinya dia berbuat begitu. Aku bingung harus bagaimana lagi. Sudah puasa sebulan demi bisa menabung membeli tiket nonton konser boysband Korea idola kami, sekarang tiketnya lenyap entah di mana bersama dompet Nara.
"Gini aja deh, Nar! Daripada pusing mending gue make a wish! Siapapun yang nemuin dompet lo sebelum konser dimulai, kalo cowok bakal gue pacarin, kalo cewek bakal gue traktir makan seumur hidup! Gimana, oke kan?"
Nara mengangkat bahu.
"Terserah lo deh!"

Akhirnya kami berdua pun pasrah dan duduk di pinggir lapangan sambil menjilati ice cream yang kami beli di kedai minuman dekat arena konser. Tiba-tiba antara sadar dan tak sadar, aku mendengar suara berat seorang pria menyebut nama lengkap Nara.
"Naradhita Ayodya Kencana?"
Spontan aku dan Nara menoleh ke sumber suara dan mendapati sesosok pria setengah baya berambut klimis, sedikit beruban, berpakaian necis, berkumis, kurus dan kutaksir usianya sekitar 45 tahun.
"Iya, Om siapa kok tau nama saya?"
Nara spontan berdiri sambil bertanya.
"Ini, saya liat di KTP kamu."
Pria itu kemudian mengangsurkan dompet Nara.
"Jadi om nemuin dompet ini? Waaaahhh!!! Makasih ya, Om..."
Aku spontan melonjak kegirangan. Tiba-Tiba Nara menginjak kakiku dan tersenyum usil. Perasaanku tiba-tiba tidak enak.
"Om, istrinya mana?"
Nara cengar-cengir sambil melirik padaku.
"Waaaaah! Jangan panggil om doooong! saya masih lajang. Oh iya, ini kartu nama saya. Nama saya Jono. Panggil aja Mas Jono. Biar akrab."
Nara langsung berbisik padaku,
"Lo nggak lupa janji lo waktu make a wish kaaaaan?"
Tiba-tiba semua terasa berputar-putar dan gelap. Mimpi apa gue semaleeeeeeeeeeeemmmmmm???

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta