Skip to main content

Marry Me

Tidak percaya. Ray menjadi suamiku hanya karena permainan yang selalu kami lakukan setiap malam melalui percakapan di telepon sejak 5 tahun lalu. Kami memainkannya sejak hari pertama kami menjadi partner telepon tengah malam. Peraturannya adalah salah satu dari kami akan melontarkan pertanyaan. Jika jawabannya salah, maka si penjawab harus mau melakukan tantangan yang diminta oleh si penanya.

Malam itu, entah aku yang beruntung atau Ray yang naas. Seperti malam-malam sebelumnya, kami saling bertelepon hanya untuk memainkan permainan kami. Kali itu adalah giliranku menjadi penanya.
"Aku nanya apa yah enaknya,Ray?"
"Tantangannya apa, Cha?"
"Kalo jawaban kamu salah, marry me. Oke?"
"Oke, Rara. Deal!"
"Baiklaaaah...pertanyaannyaaaa...apa warna baju tidur yang sekarang aku pakai?"
"Pink!"
"Kamu serius, jawab pink?"
"Iyalah!"
"Dan aku serius lho bilang bahwa kamu harus nikahin aku kalo jawaban kamu salah!"
"Iya, aku tau."
"Dan jawaban kamu salah, Ray!"
"So? Would you marry me, Rara Widya Kinasih?"

Dan di sinilah aku sekarang. Di ranjang pengantin dengan Ray di sebelahku, menggantikan guling kesayangan. Nama baruku adalah Nyonya Raya Fahreza.
"Istriku sayang, mau tau satu hal nggak?"
"Apa, suamiku?"
"Aku tau banget kamu itu alergi berat sama warna pink."
"Dan aku tau banget kalo kamu cuma pura-pura nggak tau aku nggak punya satupun barang berwarna pink, suamikuuuuu..."
 

Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta