Skip to main content

Maaf Untuk Mama

"Jangan pergi, Nak..."
Aku pura-pura tidak mendengar dan ngeloyor meninggalkan mamaku. Melihat gelagatku, mama langsung bangkit dari duduknya dan mencoba meraih tanganku. Tapi kutepis tangannya sehingga ia hampir terjatuh. Mama terkejut. Terlebih aku. Aku tidak sengaja ingin menjatuhkannya. Aku hanya tidak ingin dia mendesak aku.
"MIRA LESTARI! BERHENTI KAMU! JAWAB MAMA!"
Mama murka rupanya. Ia membentak dan memanggil nama lengkapku.
"Apa Ma?! Apa???!!! Mira sudah bilang sama mama bahwa Mira nggak akan pernah mau bicara sama Mama kecuali Mama bisa mengembalikan Papa ke samping Mira. Apa Mama bisa? Enggak, kan??!!"
Mama menangis. Tapi aku benci melihat air matanya.
"Jawab Ma! Jangan cuma nangis!"
Mama tersedu sedan.
"Tapi Papa sudah meninggal, Mira.."
Mama berusaha meraihku tapi aku menepisnya.
"Mira tau. Tapi Papa nggak akan meninggal kalau bukan gara-gara kelakuan Mama yang selalu menghina Papa yang tidak sekaya Mama dan mengusir Papa dari rumah sampai akhirnya Papa meninggal karena kecelakaan! Ini semua salah Mama!"
Mama bersimpuh dan memohon aku untuk tinggal
"Jangan pergi, Nak... maafkan Mama.."
Aku mengangkat tubuh mama agar ia kembali berdiri.
"Mah.. Bukan waktunya lagi Mama meminta maaf pada Mira, tapi ini saatnya Mama memaafkan Mira karena Mira harus pergi."
Kucium tangan mama... ia menangis. Aku melangkah pergi. Sayup-sayup terdengar lagu Linkin Park yang sedari tadi kuputar kencang-kencang di kamarku...

I tried so hard
And got so far
But in the end
It doesn't even matter
I had to fall
To lose it all
But in the end
It doesn't even matter


Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta