"Di Bali, pasti beda pantainya sama di sini."
Debur ombak berkejaran seolah menyaingi anak-anak kecil yang berlarian di bibir pantai.
"Di sini mana ada pantai pasir putih."
Remuk jantungku melihat lesung pipi yang terukir saat Amoria tersenyum.
"Kamu pasti pakai gaun putih seperti gaun pengantin impian kamu yang gambarnya pernah kamu tunjukin ke aku."
Dia mengangguk, dan tentu saja sambil tersenyum.
"Abe.. Kenapa Tuhan membiarkan kamu hidup, Be? Sumpah aku nggak ada niat mengkhianati kamu. Kecelakaan itu..di berita itu juga ditulis kalau semua penumpang kapal karam itu meninggal dunia. Aku bahkan berbulan-bulan menangisi kepergian kamu. Mama kamu pun begitu...A.."
Kuletakkan telunjukku di bibirnya. Dia terdiam tanpa sempat menyelesaikan kalimatnya.
"Aku tau, Amoria. Mata kamu menunjukkan kalau sampai detik ini kamu nggak pernah membuang cinta kamu ke aku. Mungkin ini namanya takdir. Kamu ikhlas kan?"
Amoria menangis. Air matanya menetes. Tapi isaknya terlalu lirih ditelan suara ombak. Aku mengecup keningnya, beranjak.
"Aku ikut bahagia untuk pernikahanmu, cantik.."
Amoria menarik tanganku. Wajahnya memohon meminta mengiba agar aku tidak pergi.
"Abe... aku rindu kamu.."
Lirih. Terlalu lirih untuk didengar, namun terlalu jelas untuk dibaca.
"See you, Amoria.."
Aku berbalik dan melangkah pergi. Menjauh darinya. Amoria.. cintaku.
Comments
Post a Comment