Skip to main content

(dari) TUBUH KETIGA





TUBUH KETIGA
Pada Perayaan Yang Berada Di Antara


Sinopsis Tubuh Ketiga yang dikemas seperti undangan mantenan (pernikahan)



Ini bukan judul film horror, melainkan judul sebuah pertunjukan yang ditampilkan oleh Teater Garasi (Yogyakarta). Menggambarkan kesenian Tarling-Dangdut sebahai "Kebudayaan Ketiga" yang tumbuh dan berkembang pesat di Indramayu - sebuah "Ruang Ketiga" yang tumbuh dengan pengaruh daerah pusat-pusat kebudayaan seperti Yogyakarta dan Solo, serta Jakarta yang mengusung kemodernan.

Dalam sinopsisnya tertulis bahwa karya ini adalah suatu perayaan atas apa yang berada di antara. Perayaan dan keberpihakan ats sikap kreatif dan rileks dari masyarakat Indramayu dalam menghadapi sesilangan kebudayaan yang datang dari mana-mana; dari luar maupun dalam, dari depan maupun belakang. 

Itulah sebabnya ketika saya dan 2 orang teman saya memasuki areal TBY, terpasang semacam gapura dari janur bertuliskan "TUBUH KETIGA" seperti ketika kita memasuki gedung atau rumah orang yang sedang mengadakan hajatan pernikahan. Ada juga penerima tamu yang mengenakan kebaya persis seperti di pernikahan. Memasuki pintu untama Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta, kami disambut tulisan "SELAMAT MENEMPUH HIDUP BARU" geli saja membacanya dan saya sempat berpikir jangan-jangan saya salah kostum, mungkin akan lebih bagus jika saya datang dengan pakaian tradisional, hehehe..

Memasuki arena pentas, ternyata antara pemain dan penonton sengaja di-setting tidak ada batas bahkan beberapa kali dalam pentas tersebut, para pemain menerobos "wilayah penonton" bergerak ke sana ke mari dan membuat saya dan teman-teman saya harus berulangkali pula berdiri, jongkok, duduk dan beranjak dari satu sisi ke sisi lain kalau tidak mau ditabrak oleh para pemain. Tapi di situ serunya... Hmmm... okelah ya... nonton pertunjukan hitung-hitung bakar kalori.

Dan berikut ini beberapa foto yang sempat kami ambil di tengah-tengah kerepotan saya menyeret-nyeret langkah, pantat dan rok panjang ^_^



Aktris favorit saya di TUBUH KETIGA, Sri Qadariatin







Kwartet ini sungguh Megang dan All Out sekali membawakan It's Not Up To You (upsss! semacam boyband masa kini)






Theodorus Christanto


Aktris favorit Khaerul (teman saya) di TUBUH KETIGA, Wangi Indriya


Para pendukung TUBUH KETIGA


Dan inilah After The Show kami bertiga. Sedikit Sangat menyesal tidak berfoto bersama para pendukung TUBUH KETIGA
(-____-)"




Puput dan Khaerul


Saya dan Puput


Tiga kata dari saya untuk TUBUH KETIGA : mengena, segar dan menghibur!
Ups! Macam pengamat saja bahasa saya ini, hehehe...



Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta