Skip to main content

Cinderellapun Menunggu

Seriiiiinnngggg sekali ketika saya dan atau teman saya mengeluh, 
"Hidup gue kok begini amat sih? Pengen seneng dikit aja susahnya minta ampun!"
kemudian akan terdengar teman lainnya berkata,
"Life is not Cinderella's Story, baby..."
Terjemahannya adalah bahwa hidup itu bukan cerita Cinderella dan maknanya, hidup itu tidak melulu indah seperti cerita Cinderella.

Itu benar bahwa hidup kadang tidak selalu terasa menyenangkan dan terlihat indah. Tapi siapa bilang hidup Cinderella itu melulu diisi dengan cerita yang indah? Coba deh... Cinderella itu pada awalnya selalu disiksa oleh ibu dan kedua saudara tirinya setiap hari. Dia diperlakukan seperti budak dan pembantu, dikasari, dimaki-maki, tidak diberi tempat istirahat yang layak dan dikurung di dapur bersama para tikus dan kecoa (masih berpikir hidup seperti itu indah? Plis deeeeeeh... ). Tapiiiii... Cinderella itu tetap sabar. Ya walaupun kadang menangis tapi dia percaya bahwa kelak suatu hari ia akan hidup bahagia.


minta gambar dari sini

Well.. saya tidak akan meneruskan cerita Cinderella karena pasti toh semuanya sudah tahu bahwa pada akhirnya Cinderella menikah dengan Pangeran. Lepas dari bumbu-bumbu cerita peri yang sedikit khayal tapi saya pikir wajar karena ini dongeng untuk anak-anak - penulis Cinderella sebetulnya ingin menyampaikan bahwa dengan mimpi, semangat, usaha, perjuangan dan do'a, sesulit apapun pasti ada jalan untuk mencapai kebahagiaan. Dab sayapun lalu berpikit... bukankah Tuhanpun sudah berfirman bahwa siapa yang mau berusaha pasti akan diberikan jalan olehNya? Bahwa juga Tuhan tidak akan memberikan cobaan di luar kemampuan umatNya?

Jadi, ketika saya merasa diberi cobaan yang sangaaaaaaaaaaaaaattttttttttt berat tapi masih punya kekuatan untuk bertahan, tidak jatuh, tidak sakit, tidak gila... berarti saya memang masih mampu berjuang. Dan ketika saya memimpikan sesuatu dan semakin dikejar semakin jauh dan saya lelah tapi masih punya kemampuan berlari, berarti saya harus terus majuuuuuuu dan berlari sampai saya ngos-ngosan, sampai saya hanya bisa duduk terdiam dengan otak kosong tidak tahu lagi harus bertanya ke mana dan harus bicara dengan siapa dan harus berbuat apa, itu artinya saya kehabisan daya. Itu saatnya saya harus menyerah. Eits eits eits... bukan menyerah dan meninggalkan apa yang sudah saya kejar sampai sepersekian jalan. Enak saja! Betapa tidak sudi saya harus melenggang berbalik arah dengan tangan kosong setelah berlari sejauh itu. Tidak! Itu artinya bahwa saya harus berdiam diri sebentar. Jadi patung kalau istilah saya. Diam tapi tetap melihat dan mendengar apa yang terjadi di sekitar, melihat-lihat kemungkinan daaaaaannnn... langkah terakhir mengadu, mengangis meraung-raung pada Dia meminta tambahan bahan bakar. Tapi kalau belum diberi juga, itu artinya mungkin Dia ingin memanjakan saya.. menyuruh saya menunggu. Dan baiklah sayapun menunggu. Dan siapa bilang menunggu itu enak? Menunggu itu membosankan. Menunggu itu bagian paling berat. Karena yang namanya menunggu itu berarti ada sesuatu yang tertuda, ada sesuatu yang belum pasti, dan ada harapan yang mungkin bisa mati. Yang jelas menunggu itu gelisah. Tapi tidak apa-apa, karena terkadang ketika menunggu saya seringkali menemukan hal baru yang belum tentu bisa saya temui kalau saya tidak menunggu dan lebih memilih pergi. Daaaaaannnn... yang paling saya suka adalah SURPRISE! Kejutan! Kejutan yang datang setelah sekian lama menunggu. Meski kadang tidak seperti yang dibayangkan, tapi selalu, selalu kejutan itu terasa indah buat saya. Jadi.... sepertinya saya harus mengubah pola pikir ya? Menunggu itu bukan hal yang membosankan melainkan suatu momentum di mana saya bisa menemukan berbagai hal yang saya tidak akan dapatkan jika saya memutuskan pergi dan tidak bersabar. Lagipulaaaaa...anggap saja menunggu itu adalah break time setelah sekian lama berlari-lari dan berpayah-payah.

Jadi...  bagi saya, Life must be A Cinderella's Story.. ^_^ 




Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta