Skip to main content

Sepertiga


Aku suka sepertiga. Karena di dalamnya hanya tinggal beberapa saja. Karena di sana tempat bercerita tentang apa saja. Karena Yang Paling Terpercaya meluangkan seluruhnya di sana.

Aku memilih yang sepertiga. Biar dia kecil. Biar dia sedikit. Biar banyak yang tak melihatnya.

Aku percaya pada sepertiga. Biar banyak yang menuduhnya beromong kosong. Biar banyak yang berkata dia membual. Biar banyak yang mendecapkan lidah sambil memakinya pembohong.

Aku selalu ingin bisa mencurahkan segalanya untuk sebuah sepertiga. Meski banyak yang tak ada waktu untuknya. Meski banyak yang tak punya kesabaran menghadapinya. Meski banyak yang berpaling darinya.

Aku mau. Aku berani. Terus belajar, terus bertahan, terus menunggu, terus bersabar.. untuk mencintai sepertiga. Selamanya.

Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta