Skip to main content

"Saya kenal kooookkkk..."


  Suatu hari saya mengemban tugas negara (sebutan candaan di kalangan kami) untuk menelepon Kelurahan Maju Jaya (tentu bukan nama sebenarnya). Sampai akhirnya terdengarlah suara kebapakan di seberang sana menjawab panggilan telepon saya.
Suara kebapakan    : "Kelurahan Maju Jaya, Selamat pagi."
Saya                     : "Selamat pagi, saya dari humas. 
                               Mau menyanyakan Ibu Mawar Berbunga
                              (dilihat dari anehnya, sudah jelas ini 
                              juga bukan nama sebenarnya)
                              jabatannya apa ya, Pak?" 
Suara kebapakan   : "Oh Bu Mawar Berbunga itu masih staf, Mba.. 
                              Mbokya tolong tolong Mba supaya Bu Mawar 
                              Berbunga bisa naik pangkat. Kasian lho Mba,
                              beliaunya kan sudah tua."
Saya                    : "Eeeee... (bingung harus menjawab apa)
Suara kebapakan   : "Ini Mbak siapa ya?"
Saya                    : "Yolla, Pak.."
Suara kebapakan   : "Oh Mbak Yolla, iya saya tau lho.. 
                              saya sering liat kalo saya 
                              ke balaikota."
Saya                    : (senyam-senyum besar kepala, 
                             senang karena bertambah lagi orang yang tau saya)
Suara kebapaklan  : "Mba Yolla yang rumahnya di Slawi kan?"
Saya                    : "Bukan, Pak.."
Suara kebapakan   : "Ooo.. bukan? Oooo iya, iya... 
                              yang anaknya Bu Cantik Tralala Trilili
                              (bukan nama sebenarnya juga) Iya kan? 
                              Saya kenal kok."
Saya                    : " (mulai agak kesal) Bukan, Pak.."
Suara kebapakan   : "Lho bukan juga? Ooooohhhh iya... iya... 
                              pasti yang kerjanya di BKD 
                             (kependekan dari Badan Kepegawaian Daerah) ya?"
Saya                    : "(Meradang! Akut!) 
                              Pak.. kan tadi saya bilang dari Humas, kok BKD?"
Suara kebapakan   : "Oh iya ya, Humas... iya saya kenal kok..."
  Akhirnya, sebelum saya merusak telepon kantor, saya putuskan untuk sesegera mungkin memutuskan sambungan telepon,
Saya                    : "Ya sudah, Pak... terima kasih..."
Suara                   : "Iya Mbak Yolla, nahhhh... apa saya bilang? 
                             saya kenal thooooo??
  Tak lama terdengarlah bunyi telepon yang saya putus sambungannya "tuuuutttt...tuuuuuuttt...brrrruuuuutttt"





Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta