Skip to main content

GILAAAA!!!

Gila Lo! 
Gangguan jiwa yah?!
Waras nggak sih?!
Sakit jiwa nih anak!
Edan!
GOBLOK!!! 


Nah! Lho! yang terakhir ini terasa paling nampol! Kenapa sih reaksi mereka rata-rata sejenis itu tiapkali saya ditanya tentang love life  dan saya mengatakan, 'Semuanya akan ditentukan dalam waktu dua tahun'

Kecele kalau kalian mikir saya akan menikah dua tahun lagi.. Dua tahun itu kan toleransi dari saya untuk diri saya sendiri yang kepala batu ini. Bingung ya? Oke saya jelaskan..

Entah bagaimana ceritanya tiba-tiba saya sadar saya sangat suka, sayang, kagum dan semua perasaan yang kata orang kalau digabungkan membuat orang berkesimpulan bahwa saya mencintai orang itu. Supaya lebih gampang, saya panggil saja orang itu dengan sebutan 'Dya'.

Mungkin waktu itu ada penyihir iseng yang menaburkan bibit-bibit mantra asmara sehingga akhirnya saya heeeeuuuuuuuuuuuhhhhh sungguh sangat tergila-gila padanya. Celakanya, Dya seperti iseng meladeni saya sampai akhirnya saya merasa bahw dya juga suka pada saya. Celakanya lagi saya merasa seolah kami ini sepasang kekasih (Huh! Salahkan dya, salahkan dya, saya berpersepsi begitu karena kelakuannya)

Puncak dari celakanya, dya tidak pernah mau mengatakan apa dan siapa saya ini sesungguhnya buat dia. Saya yang sudah terlanjur jatuh hati ini berusaha menghilangkan perasaan sakit hati dengan 'mengenal' sosok-sosok lain. Tapi sial! Dya membuat hati saya tak berkutik! Saya mati gaya dan tidak bisa tertarik pada yang lain lagi.

Nah! Akhirnya, di pagi buta itu saya membuat perjanjian, mmm... lebih tepatnya hukuman untuk diri saya sendiri. Saya akan menunggu dya memberikan pernyataan sampai selama 2 tahun. Kalian salah lagi kalau mengira yang dimaksud dengan pernyataan adalah kalimat sejenis:
'Aku mau kamu jadi pacarku'
atau
'Gimana kalo kita tunangan? Rasanya aku terlalu mencintaimu'
bukan juga yang seperti ini,
'Maafin aku ya, 2 tahun ini aku baru sadar kalo ternyata kamu memang perempuan yang aku mau'
TIDAK!
Bukan itu. Saya cuma ingin dia bicara. Memberi pernyataan tentang apa dan siapa saya untuk dia. Sekalipun nantinya yang keluar mungkin malah pernyataan,
'Buat aku.. kamu itu adalah babuku' --> babu = pembantu.
It's okay. Itu berarti saya sudah mendapatkan kepastian dan dengan sendirinya penantian 2 tahun itu akan gugur.

Paham kan sekarang apa yang saya maksud dengan 'dua tahun'?
Rata-rata, pendapat teman-teman dekat saya adalah seperti kalimat-kalimat yang saya tulis di bagian paling atas dari ocehan saya ini. Mereka menganggap saya ini idiot karena memberi kelonggaran untuk dya. Sudah saya katakan ini bukan lesempatan untuk dya. Memangnya saya ini malaikat yang berbaik hati memberikan kesempatan pada orang yang jelas-jelas telah membuat hati saya ini nyeri bagai disayat sembilu. Sekali lagi saya tegaskan bahwa ini adalah hukuman dari saya, oleh saya dan untuk diri saya yang keras hati. Lagipula kenapa sih teman-teman saya yang harus sewot? Semua resiko kan ditanggung supir alias saya.

Jadi biar saja mereka bilang saya gila. Saya memang merasa gila. Tapi saya tahu saya belum gila. Karena kata para psikiater, orang gila sungguhan, tidak pernah merasa dirinya gila. Jadi? Saya ini gila jadi-jadian atau tidak gila? Ah! Kalau dipikir terus, lama-lama saya bisa jadi pasien Rumah Sakit Jiwa... :))

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta