Skip to main content

Jilbabku Sayang, Ke Mana Kau Melayang?


Suatu hari saya bersepeda mengenakan T-shirt dan celana (super) pendek. Saya kemudian bertemu seorang teman - Mbak Jilbab (nama jadi-jadian pemberian saya sendiri). Saya sudah menduga dia pasti akan menatap saya dengan pandangan 'gimana' dan it happened. Meskipun dia senyum tapi matanya tidak bisa berbohong kalau dia sebetulnya berpikir gimanaaaaa gitu. Terbukti dua hari sesudahnya, teman saya yang lain - Asoy (bukan nama sebenarnya) bertanya pada saya,
"Kamu waktu itu sepedaan pake celana pendek ketemu Mba Jilbab ya?". Saya jawab, "Iya.. emang Mba Jilbab ceritanya gimana?". Asoy bilang, "Dya bilang katanya kamu parah banget bajunya dan sempet ngasih komentar kalo kamu cewe nakal."  Saya cuma tersenyum karena sudah menebak sebelumnya. 




Cerita berhenti di situ.. sampai dua hari yang lalu, saya bertemu seorang teman yang lainnya - Kumis (bukan nama sebenarnya juga). Kumispun  bercerita, "Tadi pagi aku ketemu sama Mba Jilbab. Dia lagi beli sarapan di Jalan X. Tapi aku sempat pangling karena ngeliat dia pake hotpants. Pas kupanggil namanya, ternyata memang dia. Waaah baru liat dia yang seksi kaya gitu".  Setelah cerita begitu, Kumis cengar-cengir. Mungkin dia masih mengingat secara utuh kenangan terbaru tentang Mbak Jilbab

Comments

  1. Berarti mbak jilbab berpakaian juga kaya yang naik sepeda tu?

    Pengalaman pribadi yas? hehehe

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta