Skip to main content

Bertamu


Aku datang padanya dengan hati miris teriris, dengan jiwa terluka dan amarah berapi-api. Aku malu. Tak biasanya sepagi ini aku sudah mengetuk pintu rumahnya. Aku tahu dia akan senang dengan kedatanganku sebab dia memang tak pernah melarang siapapun datang ke tempatnya. Tapi aku malu. Biasanya agak siang sedikit aku baru bertamu kemari. Tapi kali ini berbeda. Aku rindu... aku rindu sekali padanya. Jika saja boleh aku ingin memeluknya. Tapi kami begitu jauh... jauuuuhhh sekali. Bukan karena dia menghindar dariku melainkan karena aku yang selalu menjaga jarak dengannya. Sesungguhnya aku malu dengan semua itu. Aku seringkali berprasangka buruk padanya bahwa dia akan mengejek dan menyindir-nyindir aku karena... karena sudah beberapa waktu ini aku sangat rajin menemuinya, amat sangat jauh lebih rajin dibandingkan dengan biasanya. Aku takut dia bosan padaku. Namun kutepis semua pikiran burukku sebab semua orang bilang dia paling baik. Malaikatpun tak ada apa-apanya jika dibandingkan dengannya.

Sembunyi-sembunyi aku berjalan ke rumahnya. Entah mengapa (lagi-lagi) malu rasanya mengunjunginya dengan diketahui orang-orang, di saat yang tidak biasa. Meski dengan was-was dan malu, akhirnya sampai juga aku di rumahnya. Baru menginjak halamannya dan kulihat rumahnya sepi... sepiii sekali. Tak ada satu orangpun yang datang. Ini kesempatan langka! Aku bisa berdua saja dengannya. Kucoba membuka pintunya dan syukurlah tak terkunci. Dia memang tak pernah sedetikpun mengunci pintu rumahnya. Aku masuk dan dia ada di sini! Oh... Luluh lantak rasanya... Aku ingin berbincang dengannya, tapi yang keluar hanya isak tangis yang lama-kelamaan berubah menjadi tangisan pilu... sesak dada ini! Penuh rasanya! Bukan penuh oleh semua masalahku namun penuh oleh kesedihan, rasa sesal, rasa bersalah dan rasa malu teringat akan semua kesalahanku padanya. Aku ingin bilang, "Maafkan aku..." tapi lagi-lagi yang keluar hanya tangisan yang makin lama makin menjadi. Tak bisa kubendung lagi air mataku. Aku menangis sejadinya... lama... sampai tiba-tiba kusadari tangisku telah berhenti. Aku merasa lega, ringan dan lepas dari semua ganjalan ini.

Aku tersenyum... meskipun masih malu padanya. Lalu aku mulai bercerita padanya tanpa menangis. Menceritakan segalanya, sampai habis, sampai tandas sampai tak ada yang tersisa, sampai aku terdiam karena tak tahu harus menceritakan apa lagi padanya. Lalu aku pamit. Namun sebelumnya aku meminta ijin padanya agar aku boleh bertandang lagi ke rumahnya di waktu-waktu ini besok, besoknya lagi dan seterusnya setiap hari sampai selama-lamanya. Aku juga meminta padanya agar tak melarangku merinduinya pagi ini, siang nanti atau di larut malam sampai habis nafasku ini. Aku tidak bisa memastikan apakan iya mengijinkan atau hanya diam, tapi kuharap dia berkata, "iya."

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta