Skip to main content

AKU (bukan) PELACUR

Aku masih memandangi wajahnya. Tertidur dengan tenang dan bahagia. Jelas saja, seluruh hasratnya telah terpuaskan bersamaku tadi. Gemas sekali memandanginya seperti itu. Dalam hati aku berbicara, Aku juga bahagia seperti kamu. Aku juga puas seperti kamu. Aku tidak menyesal walaupun banyak orang bilang yang barusan kita lakukan itu dosa, dosa besar malah. Itu namanya zina.
Iya aku tahu aku berdosa, tapi biar saja. Urusanku dengan Tuhan. Aku memang merasa bersalah pada Tuhan tapi aku tidak merasa bersalah pada diriku dan pada seluruh penjuru dunia ini, termasuk pada dia.

Ini bukan yang pertama kalinya aku berbuat ini. Dia juga bukan orang pertama yang melakukannya denganku. Aku juga tidak tahu apakah dia akan menjadi yang terakhir atau bukan. Tetap tidak peduli.

Bercinta buatku adalah sesuatu yang hampir pasti terjadi setiapkali aku mencintai seorang laki-laki. Iya, bercinta dalam arti bergumul,digauli atau apa saja yang artinya berhubungan sex dengan seorang laki-laki. Aku bukan maniak sex, sungguh! Semuanya mengalir begitu saja. Aku terpesona, berkenalan, mengobrol, menjadi sayang lalu perlahan mencintainya, mencintainya sampai selalu merindukannya dan ingin memeluknya, menciumnya, menjadi satu dengan dia dan berbalas. Dan jadilah ... bercinta. Di mana salahnya, selain karena dosa?

Orang bilang aku gampangan. Ya aku memang begitu, seperti yang mereka pikirkan. Energiku, perasaanku, hartaku, tubuhku dan semua yang aku punya akan aku berikan untuk dia. Bodoh? Biar saja. Aku tidak peduli. Buatku itu adalah persembahan yang terbaik yang bisa aku berikan buat dia.

Seperti yang aku bilang tadi, aku juga tidak pernah tahu apakah dia yang dulu atau yang sekarang bersamaku akan menjadi suamiku atau tidak. Yang aku tahu aku sungguh-sungguh mencintai semua dia-ku saat masih bersama dulu - dan juga dia-ku yang sekarang, yang damai dalam lelapnya. Selama aku mencintainya, aku akan selalu memberikan yang terbaik sampai nanti cintaku benar-benar habis.
Aku memandangi wajahnya lagi. Biasa. Tapi aku mencintainya dan aku merasa dia mencintaiku - setidaknya saat ini. Aku mengingat lagi pergumulanku dengannya, pergumulanku dengan dia-diaku yang lain yang kebanyakan sudah bahagia dengan perempuan-perempuan yang lain juga. Tetap saja aku tidak pernah merasa jijik, rendah dan kotor karena aku tahu mereka semua dan dia yang ada di hadapanku saat ini begitu mencintaiku setulus hati.

Aku tidak bohong! Sungguh aku tidak bohong bahwa memang aku tidak pernah menyesal, kecuali sekali. Sekali-kalinya dalam hidupku aku merasa jijik dengan diriku, aku merasa bodoh, ketika salah satu dari dia-diaku itu ternyata tidak benar-benar mencintaiku saat bersamaku. Ternyata dia hanya menginginkan kesenangan, memuaskan nafsunya dengan mendapatkan tubuhku secara cuma-cuma, padahal dia tahu aku sungguh sangat mencintainya. Hanya itu yang membuatku merasa kotor, merasa nakal bagai pelacur.

Tapi aku bukan pelacur. Kamu dan semua orang yang berjudul laki-laki memang bisa mendapatkan tubuhku dengan gratis. Tapi hanya jika aku mencintai kamu. Dan sungguh jangan berharap bisa menikmati aku, bahkan kau sentuh aku seujung kukupun aku tak akan pernah rela bila aku tidak mencintaimu. Aku memang seperti pelacur, tapi aku bukan pelacur, karena aku hanya bercinta dengan orang yang aku cintai.

"Sayaaang... kamu mikirin apa?" Dia-ku terbangun. Tangannya menyentuh jemariku dengan sangat lembut. Aku hanya menggeleng, memandanginya begitu dalam jauh ke matanya. Tersenyum dan menggeleng. Merasa sangat bahagia karena mencintai dan dicintai. Begitu bahagia sampai aku mengecup bibirnya lagi dan diapun begitu. Kamipun bercinta lagi....

Comments

  1. glek glek glek.....sebagai manusia n lelaki normal tentunya aku melongo bacanya..ini fiktif kan? jujur aku sendiri aja ga berani nulis begini walau mungkin pengalaman seperti ini banyak ku temui di sekitarku (bukan berarti di aku nya lo)..hebat hebat..sumpah...!!
    jujur lagi, aku bacanya aja jadi sempet ngelawan otak ngeresku...(husshh apaan sih)
    pokoknya terhanyut deh...satu kata buat tulisan ini "BAGOOS"

    ReplyDelete
  2. Namanya juga cerita, pastinya fiktif donk...
    tengkyu komennya :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta