Skip to main content

Senjata Rahasia



 

     Suatu hari... di sebuah acara yang terdiri dari banyak kenalan lelaki tersayang saya dan sedikit kenalan saya - itupun awalnya kenalan lelaki saya, saya melihat perempuan itu. Biasa saja, tidak cantik, tidak stylish, tapi..... Oh My God! Sial! Since the first time we're shaking hand, i know that she's so damn smart, have a high sex appeal dan... menarik! Dia teman dari laki-laki pujaan saya. Berasal dari dunia yang sama, mempunyai banyak topik pembicaraan yang nyambung, tidak seperti saya yang berasal dari planet lain yang tiba-tiba saja bertemu lelaki pujaan saya ini dan... entah karena apa laki-laki yang saya kagumi sepenuh jiwa raga ini mau saja jalan bersama saya.
     Ini dia! Ini dia perempuan yang membahayakan posisi saya. What should i do? What should i do? Mencoba menjadi seperti dia? Ikut ngobrol dalam topik pembicaraan mereka berdua? Hallloooo? tidak mungkin! Yang ada saya akan semakin terlihat tolol dan idiot! Lalu? Masa iya saya harus diam saja sambil senyam-senyum sana-sini? Yang ada, bukan laki-laki pujaan saya yang akan terpesona tapi justru hidung belang-hidung belang lainnya. Buat apa? Jelas-jelas saya datang ke sini bersama laki-laki tersayangku untuk menunjukkan eksistensi saya sebagai 'pasangannya'.

Ouuuuwwww.... ouuuuwwww.... coba lihaaaatttt! Lihat wajah innocent palsu perempuan itu. Aku yakin laki-lakiku tidak tahu bahwa wajah innocent itu hasil rekayasa. Perempuan itu ingin menunjukkan bahwa meskipun terlihat innocent tapi dia sangat cerdas. Oh yaaa.... yaaaa.... bahasa tubuhnya. Mau pamer rupanya dia pada saya kalau hanya dia yang paling memahami lelakiku. But poor you, honey.... he just doesn't realize it. Perempuan itu.... ngajak perang rupanya dia. Oke! Karena dia sudah mengeluarkan senjata rahasianya, maka sekarang waktunya saya mengeluarkan senjata rahasia saya. Every woman has their killing secret gun, darling....

     Saya dekati perempuan itu, mengajaknya beramah-tamah sebentar. Sekedar memberi pujian sedikit tentang poenampilannya sambil tersenyum manis. Lalu berbicara pada my honey bunny, "Tadi aku liat si X (nama salah seorang teman laki-laki yang akrab dengan lelakiku)... Kayanya dia nyari kamu deeeh. Coba kamu samperin. Aku mau liat-liat sebentar sama si Devil (panggilan sayangku untuk perempuan pengancam)"
Nah! Berhasil! Laki-lakiku pergi mencari si X yang... mungkin masih ada di sekitar sini. Lalu dengan senyum manis aku mengajak si Devil jalan-jalan. Sepintar-pintarnya, seunik-uniknya, sebeda-bedanya si Devil dengan perempuan lain, tetap saja Devil ini makhluk yang judulnya perempuan. Jadi, ada hal-hal yang pasti menarik untuk dibicarakan antarperempuan dan... let it be our secret. So... aku lebih memilih untuk menjadi her bestfriend supaya aku tahu benar siapa dia dan membuat dia tidak bisa menolak ajakan pertemanan dari saya. I know how to do it well.
     Percaya deh... menjadi teman baik bagi sainganmu, adalah satu-satunya cara termudah mengetahui kelemahannya dan membuat kamu bisa dengan mudah pula mengeksplor kelebihanmu terhadap laki-laki tersayangmu tanpa harus menambah musuh. Bukankah punya satu orang teman lebih baik daripada punya seribu musuh?

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta