Skip to main content

Bercinta

Rasanya dingin...
dingin menjalari hatiku...
mengalir dalam tiap mililiter darahku...
bercampur dengan daging, lemak dan tulang belulangku...
tak terasa sakit...
hanya dingin yang lama kelamaan menjadi sejuk kemudian terasa hangat.

Hangat seluruh diriku...
seperti ada matahari bersinar di dalamku...
terang tapi tak silau...
cahayanya lembut berpendar seperti fajar yang perlahan mengganti langit malam yang hitam.

Segala yang tak nampak mulai terlihat...
satu per satu memancarkan semburat warna yang masih malu-malu...
perlahan merona dan melukiskan warna-warni berani yang indah dipandang.

Sejauh mata memandang terhampar bermacam bentuk yang bermakna...
tak lagi samar meski masih jauh untuk dapat disentuh.
Namun semuanya jelas dan lugas...
tak ada lagi keraguan seperti ketika malam berganti fajar...
tak ada lagi kebimbangan untuk melangkah dalam cahaya remang-remang...

Di hadapanku jalan lurus terbentang....
tinggal kuikuti agar bisa kusentuh semua yang nampak nyata di mata.
Jalan lurus ini begitu panjang...
begitu banyak lubang di antaranya...
namun aku tahu ia akan tetap lurus dan berakhir di suatu titik.

Akan kumulai langkahku dari sini sekarang...
di saat matahari masih bisa jadi penerang...
dan bila nanti surya tenggelam...
aku akan berjalan perlahan dan was-was...
hingga kupercepat langkah-langkahku lagi saat hari terang kembali.
Aku tak akan berhenti...
hanya akan berjalan cepat-lambat-cepat- lambat dan seterusnya...
sampai habis jalan lurus ini.



Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta