Skip to main content

KITIRAN

Kalau ditanya apa mainan kesukaan saya waktu kecil, dengan cepat pasti saya akan menjawab, "Kitiran!". Anak-anak yang lahir di tahun 80'an atau sebelumnya seperti saya, mungkin langsung tahu apa itu kitiran.

Kitiran adalah mainan tradisional berbentuk baling-baling dan berwarna-warni. Biasanya terbuat dari plastik bekas botol minuman, kertas layang-layang, kertas marmer dan bahkan ada yang dibuat dari kayu dan berbagai macam bahan lainnya. Harga kitiran dari plastik bekas atau kertas biasanya relatif murah. Untuk mendapatkannya pun dulu tinggal berkunjung ke pasar malam atau pasar tradisional. Entah sekarang masih ada atau tidak.

Yang membuat saya teringat kembali akan kitiran adalah ketika baru-baru ini saya menyaksikan berita di televisi tentang perayaan Hari Anak Nasional bersama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam tayangan tersebut sempat terekam seluruh anak yang ada di deretan penonton, memegang kitiran. Indah sekali. Dan menyenangkan.

Cara memainkan kitiran cukup sederhana. Tinggal dipegang saja dan dia akan berputar kencang di tempat yang paling banyak anginnya. Jika di tempat kita berada tidak ada angin, maka kita bisa menciptakan angin sendiri dengan mengayunkan kitiran dari kanan ke kiri atau sebaliknya.

Pinjam gambar dari sini

Bermain kitiran bagi saya seperti penyemangat hidup. Ketika saya berdiri di tempat yang tiupan anginnya kencang, maka saya beruntung. Tapi jika tidak, maka saya harus berusaha mencari atau menciptakan keberuntungan saya sendiri agar kitiran tersebut dapat terus berputar. Dan saya harus terus menjaga agar kitiran saya tetap berputar agar saya terus merasa senang :)

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta