Skip to main content

= merinding disko =

Seharusnya ini saya tulis beberapa hari yang lalu.
Tanggal 17 Agustus 2010.
Tapi i was too busy to kiss my beloved "Rasarasanya" (ngaku-ngaku sibuk supaya keliatan keren)

Ceritanya...
Ini kedua kalinya saya mengikuti Upacara Detik-Detik Proklamasi di alun-alun.
Sebetulnya saya nggak se-patriotik itu sampai sepenuh hati mengikuti Upacara Bendera. Cuma karena setahun ini pekerjaan saya memaksa saya 'bermesraan' dengan yang namanya upacara ini itu, lama-lama asik juga.

Bagian yang paling berkesan adalah ketika protokol mengucapkan, 'Detik-detik proklamasi' setelah itu sirine akan dibunyikan diikuti oleh suara sirine dan klakson mobil yang juga dibunyikan para pengendara mobil di sekitar alun-alun tempat pelaksanaan upacara. Momen itu selalu berhasil membuat saya merinding disko dan lama-lama menjadi terharu sampai ingin menangis. Pertama kali saya merasakannya, saya mengira itu hanya efek yang ditimbulkan karena itu adalah hal baru bagi saya. Tapi tidak karena setelah itu saya tahu apa yang membuat saya begitu merinding disko sampai kemudian terharu dan ingin menangis.

Saya membayangkan apa yang kira-kira dirasakan para pejuang saat itu. Bunyi sirine itu bukan sembarang bunyi. Bunyi itu adalah akhir dari suatu proses dan juga awal dari sebuah proses yang lainnya. Terbayang betapa mereka harus menyediakan dan mengorbankan jiwa-raga mereka dan juga orang-orang yang mereka cintai hanya untuk memenangkan sebuah kondisi 'merdeka'. Begitu besarnya cinta mereka pada negara ini dan begitu berharganya sebuah kemerdekaan.

Kemerdekaan. Itu adalah yang diinginkan oleh semua orang. Mereka - para pejuang itu telah berhasil mendapatkannya. Itulah akhir dari proses perjuangan mereka dan sekaligus menjadi awal dari proses perjuangan generasi selanjutnya ( generasi we're included) untuk membangun apa yang pernah runtuh, dan memenuhi ruang kosong yang isinya pernah dicuri ketika jaman penjajahan. Itu seharusnya jadi tugas saya juga sebagai generasi 'we're included'. Tapi saya heran pada diri saya. Kemerdekaan yang telah diperjuangkan mati-matian malah seringkali saya pakai sebagai tameng untuk tidak berjuang secara pol-polan. Contoh kecilnya ketika ibu saya menyuruh saya menyiram tanaman sampai harus memanggil saya berkali-kali karena saya tidak juga mau beranjak dari depan layar komputer kesayangan saya, dengan santainya saya menjawab, "Ngga usah buru-buru kenapa sih, Mah? Ini kan udah merdeka.. Belanda juga udah jauh dan ngga doyan ngejajah kita lagi. Takut banget sih..." Kurang ajar sekali ya saya? Kurang ajar pada ibu saya dan juga kurang ajar karena menjadikan perjuangan generasi terdahulu saya sebagai sebuah lelucon.

Tapi jujur saja, setelah merinding disko mendengar suara sirine detik-detik proklamasi, saya jadi terpacu untuk tidak cengeng, menjadi lebih tangguh, lebih rajin, lebih membanggakan, rela berkorban dan pantang menyerah. Dan... begitu sampai di rumah melihat PC komputer saya, meraba-raba handphone kesayangan saya dan menikmati fasilitas masa kini yang ada, tekad saya seperti angin semilir yang numpang lewat atau uap yang keluar dari air yang mendidih. Terasa tiupannya tapi hanya sebentar dan kemudiah fiuuuuh... pufhhh! Lenyap! Menyedihkan... ternyata tekad saya hanya sepanjang perjalanan alun-alun sampai ke rumah.

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah...

Dunia Dalam Kepala

Dunia dalam kepala... Dunia dalam dunia... Dunia yang sama dengan dunia... Dunia di mana ada aku, kamu dan semua orang di dunia... Dunia yang berisi kisah-kisah yang benar terjadi di dalamnya.... Dunia dalam kepala... Dunia yang kita tinggali... Dunia yang kita miliki.... Dunia dalam kepala... dunia kita....

BELENGGU

Buat saya, berbohong yang paling sulit adalah berbohong pada diri sendiri. Mengerasi diri sendiri, memarahi diri sendiri, melarang diri sendiri , s emua itu juga sama beratnya. Saya sungguh tidak ingin hati ini terluka apalagi hancur berkeping-keping. Tapi saya juga tahu kalau bunga di dalam dada yang kelopaknya masih kuncup dan mahkotanya belum menampakkan keindahannya, tidak akan pernah mekar. Lebih baik saya injak-injak saja dia sekarang. Biar layu, biar rusak, biar mati! Toh percuma juga kalau dibiarkan hidup lebih lama, bunga hati ini tidak akan bisa menjadi indah, tidak akan ada taman bunga, tidak akan! Nanti juga kalau bukan saya, badai yang akan memusnahkannya. Sungguh saya tidak ingin terus-menerus menjadi penjahat dalam drama kehidupan saya sendiri. Tapi waktu tidak pernah memberikan kesempatan pada saya yang tak bernyali ini, hingga akhirnya saya harus membunuh lagi membunuh dan membunuh bunga cikal bakal cinta di hati. Laki-laki yang pernah memuja paras sa...