Skip to main content

BELENGGU






Buat saya, berbohong yang paling sulit adalah berbohong pada diri sendiri. Mengerasi diri sendiri, memarahi diri sendiri, melarang diri sendiri, semua itu juga sama beratnya. Saya sungguh tidak ingin hati ini terluka apalagi hancur berkeping-keping. Tapi saya juga tahu kalau bunga di dalam dada yang kelopaknya masih kuncup dan mahkotanya belum menampakkan keindahannya, tidak akan pernah mekar. Lebih baik saya injak-injak saja dia sekarang. Biar layu, biar rusak, biar mati! Toh percuma juga kalau dibiarkan hidup lebih lama, bunga hati ini tidak akan bisa menjadi indah, tidak akan ada taman bunga, tidak akan! Nanti juga kalau bukan saya, badai yang akan memusnahkannya.

Sungguh saya tidak ingin terus-menerus menjadi penjahat dalam drama kehidupan saya sendiri. Tapi waktu tidak pernah memberikan kesempatan pada saya yang tak bernyali ini, hingga akhirnya saya harus membunuh lagi membunuh dan membunuh bunga cikal bakal cinta di hati. Laki-laki yang pernah memuja paras saya yang semanis gula jawa, yang memuji kebaikan hati saya, pada akhirnya semua kecewa, marah, berteriak dan memaki lalu pergi meninggalkan saya sendiri. Lagi dan lagi.
Sudah biasa! Bukan hal baru bagi saya. Bukan yang pertama kali. Tapi tetap saja sakit pasti. Kalau orang bilang hal yang paling menyakitkan hanya dirasakan ketika pertama kali terjadi, itu dusta!  Sakit ini sudah saya rasakan berkali-kali. Yang pertama membuat saya terkejut, goyah dan lemah. Yang kedua dan selanjutnya memang membuat saya lebih kuat, tetapi bukan berarti sakitnya hilang! Sakitnya ada di sana. Tinggal di dalam luka-luka itu dan terkadang membuat saya merintih menangis tanpa suara menahan nyeri di malam-malam yang sunyi.

“Apalagi yang kamu pikirkan?” Dia akhirya membuka mulut setelah sejak tadi diam memandangi saya yang juga tampak diam, namun merangkai seribu kata dalam hati.
“Kamu.”
“Kamu menakutkan hal yang sama lagi? Tidak akan terjadi, sayang. Bukankah sejak awal kita dekat, kamu sudah katakana semuanya?”
“Iya. Tapi tetap saja masa lalu dan masa depan yang suram itu menghantui saya. Membuat saya takut kamu akan pergi seperti yang lainnya.”
“Kamu benar. Saya akan pergi. Saya akan pergi dengan membawa kamu, menuju tempat yang baru. Bukan di sini. Kita bangun istana kita sendiri di tempat baru. Biarkan tempat ini menjadi persinggahan kita saat rindu melanda. Sebab bagaimanapun, sebanyak apapun luka yang ada di sini, ini adalah tempat orang-orang yang kita cintai dan menyayangi kita, tinggal. Tapi rumah kita nanti bukan di sini, melainkan di tempat yang kita bangun berdua saja.”
Saya tersenyum dan merangkulnya sambil menangis. Sungguh ini yang saya inginkan dari dulu. Sungguh sosok seperti dia yang saya tunggu kehadirannya. Yang mau memungut saya, yang bagaikan buah yang jatuh dari pohonnya, tanpa memaksa saya untuk tersiksa mengakui bahwa saya buah yang lahir dari pohon yang akarnya tak punya semangat hidup, dan memaksa ranting serta buahnya ikut mati bersamanya. Aku tidak mau mati di sini. Aku masih punya harapan untuk hidup.
“Saya bahagia. Saya sungguh ingin kita bahagia.”
Dia menggenggam erat kedua tangan saya sambil tersenyum.

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta