Skip to main content

Bapak Peri



















Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah?

“Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.”
“Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.”
“Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!”
“Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nikah lagi? Yang mana nih?”
“Saya itu bingung sama Bapak. Saya ini perempuan tapi kok Bapak memperlakukan saya kayak prajurit yah? Tapi dia memperlakukan Dedek, yang jelas-jelas laki-laki, kayak princess. Nggak boleh ada satu orangpun menyakiti Dedek. Bapak sayang nggak sih sama saya?”
“Saya suka sama Bapak dan Ibu karena setiap pagi mereka selalu berciuman sebelum Bapak berangkat ke kantor.”
“Bapak? Hahahaha! Coba aja kamu ke rumah, pasti diajak ngobrol ngalor ngidul sama Bapak.”
“Bapak.. Hmmm.. saya nggak tau Bapak saya siapa. Ibu nggak pernah bilang.”

Bapak kita masing-masing pasti berbeda satu sama lain. Bapak-Bapak kita mungkin tidak sempurna atau jauh dari bayangan tentang Bapak impian kita. Terlepas dari rela atau tidaknya kita menerima keberadaan mereka, tetap tidak bisa dipungkiri bahwa tanpa ada mereka, kita tidak mungkin ada. Tidak mungkin kita bisa merasakan bahagia, menikmati indahnya jatuh cinta dan tahu kalau patah hati itu rasanya sakit sekali.

Tapi bagaimanapun juga sebagaimana manusia lainnya,Bapak-Bapak kita pasti akan expired. Sama seperti kita juga. Ada masanya nanti kita tumbuh tanpa keberadaan Bapak. Ada masanya sebagian dari kita, yang berjenis kelamin pria, akan menjadi Bapak dari keturunan kita. Pernahkah terpikir tentang memiliki Bapak yang abadi? Yang keberadaannya timeless? Yang terus menemani kita, bahkan menemani anak cucu kita?

Bapak Peri. Mungkin itu sebutan yang bisa menggambarkan sosok seorang Bapak yang timeless. Yang selalu ada, yang tidak pernah pergi dan menemani kita serta siap membantu kapanpun kita memerlukan nasehat dan solusi dari Bapak. Dan “Sabtu Bersama Bapak” mewujudkan khayalan saya tentang keberadaan Bapak Peri ini. 

Novel karya Adhitya Mulya ini kalau menurut versi saya seolah menempatkan Bapak sebagai sosok peri penolong. Yang mendampingi anak-anaknya sejak sebelum lahir sampai mereka dewasa bahkan menjadi seorang Bapak. Bapak dalam novel ini adalah lelaki yang jauh dari sempurna tetapi bisa menjadi pria sejati yang menepati janji pada istri, anak-anak dan keluarga. Bapak yang menjadi buku pintar, ensiklopedia sekaligus juga pemandu percintaan untuk anak-anaknya. Bapak dalam novel ini bahkan bisa menjadi Bapak kedua untuk kita semua alias Bapak Peri.

Testimoni dan cuplikan serta sinopsis di sampul novel ini memang membuat kesan ini adalah novel yang sangat melow dan menye-menye. Tapi gaya humoris penulisnya dan kejutan-kejutan di dalamnya membuat saya seperti merasa melihat percikan-percikan kembang api dan selanjutnya terlena dengan kisahnya serta melupakan kesan awal yang saya tangkap ketika membaca tulisan-tulisan di sampul novel ini.
















Selamat membaca, guys.. :) 






Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta