Skip to main content

Meja Lain

 
picture is taken from here


Terdampar di sebuah kedai kopi pada hari Jum'at malam adalah cerita biasa bagi kaum pekerja urban sepertiku. Dan malam ini seperti seminggu lalu, sebulan lalu dan entah sudah berapa kali Jum'at malam aku rutin berada di kedai kopi ini di jam-jam pulang kantor. Aku tidak sendiri, maksudku di kedai ini aku tidak sendiri. Ada banyak pegawai kantoran lain yang memiliki kebiasaan sama denganku, berkumpul di kedai ini. Sekedar menyesap secangkir kopi ditemani camilan gosip-gosip terhangat tentang rekan sejawat.

Semakin malam suasana kedai kopi yang ruangannya tidak terlalu luas ini semakin hangat. Mayoritas pengunjung tempat ini berusia 25tahun ke atas. Banyak yang datang sendiri, ada yang berdua dan terkadang ada pula yang bergerombol. Pemilik kedai kopi ini adalah seorang pria tampan berusia 45tahun. Aku memanggilnya Mas Bowo. Perawakannya tinggi dan bentuk tubuh Mas Bowo seperti pria-pria yang rajin nge-gym pada umumnya. Sesuai dengan namanya, Mas Bowo memiliki wajah yang sangat njawani. Lesung pipi dan aroma tubuhnya yang wangi menambah daya tarik tersendiri sekaligus membuat pengunjung wanita betah berlama-lama di kedai ini untuk sekedar memandangi atau mencari perhatian Mas Bowo. Maklum saja, dengan segala kelebihan yang dimilikinya dan di usia sematang itu, Mas Bowo masih betah menjomblo. Aku sendiri lumayan sering mengobrol dengan Mas Bowo karena ia pribadi yang smart  dan nyambung diajak biacara tentang apapun. Wawasannya luas. Tapi topik tentang percintaan pribadinya, adalah topik yang paling dihindari Mas Bowo. Menyadari sedang kuamati, Mas Bowo menyunggingkan senyumnya padaku dan dari meja khusus pemilik kedai, Mas Bowo menyapaku,
"Hay Nisa.. talk to you later ya... Lagi sibuk banget nih."
Aku menganggukkan kepala padanya,
"Take your time, Mas. I'm busy with my own business, too."
Aku mengerling pada Mas Bowo dan kami berkutat kembali dengan aktivitas masing-masing.

Selesai mengamati Mas Bowo, aku baru menyadari suara perempuan-perempuan di meja sebelahku yang sedang ngerumpi ternyata cukup annoying, menarik perhatianku. Kulempar pandanganku pada sosok-sosok di meja sebelah. Mereka adalah dua orang perempuan pekerja kantoran yang dandanannya lumayan modis, wajahnya cukup cantik namun satu tipe dengan colored curly hair, mengenakan blazer dipadu tank top sebagai dalamannya, dan mini skirt serta high heels dan tentu saja tak ketinggalan, tas branded. Entah mereka teman sekantor atau bukan namun dari pembicaraan mereka yang kudengar, tampaknya bukan. Mereka sepertinya adalah dua perempuan yang sudah bersahabat cukup lama. Well, sebetulnya bagian menarik dari kedua perempuan ini adalah topik yang sedang mereka bahas.
"Nah! Coba deh! Menurut lo gimana? Si Ana itu kurang perfect apa sih? Lo tau dulu dia di SMA jadi rebutan cowok-cowok sekolah kita, belum lagi pas jaman kuliah dia lulus cum laude dan jadi mahasiswi kesayangan dosen-dosen. Tapi kemarin dia curhat sama gue sambil nangis-nangis. Katanya udah sembilan kali pacaran berturut-turut diselingkuhin terus. Gila yah? Gila nggak sih? Cewek se-perfect itu sembilan kali diselingkuhin. SEMBILAN KALI! Bukan main banget!"
Perempuan itu menggeleng-gelengkan kepala sambil memainkan rambut ikal berwarna blueblack-nya. Sementara perempuan yang satu lagi tidak berkata apa-apa, si rambut burgundy ini kemudian mengambil rokok mild dari tas nya dan kemudian dengan meminjam korek api milik Si blueblack, ia menyulut sebatang rokoknya. Ia menyesap rokoknya perlahan, kemudian baru bicara,
"Kalo dipikir-pikir, lucu juga yah? Gue kira satu dunia ini cewek yang paling sial cuma kita. Hidup nggak jelas. Status boleh pegawai kantoran. Tapi malam ini tidur sama siapa dan besok honeymoon sama siapa, cuma Tuhan yang tau deh. Hahahahahaha!"
Si blueblack tersenyum sambil mengaduk-aduk kopi di cangkirnya.
"Tapi kalo gue sih nggak nyesel tuh sama diri gue dan jalan hidup gue. Jomblo tapi bergelimang kasih sayang dan materi. Yaaa secara gue punya banyak banget laki-laki yang mau kasih perhatian plus tabungannya buat gue. Daripada jadi perempuan sempurna yang cantik dan baik-baik tapi tiap pacaran makan ati diselingkuhin terus, ngapain coba? Emang lo nyesel hidup kaya kita sekarang?"
"Enggaklah. Gue happy banget hidup kaya sekarang. Mau uang tinggal ke kanan, mau disayang tinggal ke kiri. Mau uang sama disayang sekaligus juga bisa. Mau cantik? Bisa! Coba aja orang-orang liat penampilan kita sekarang, nggak jauh-jauh bedalah sama si Ana. Hidup kaya gini sih asik banget, asal jangan coba-coba nanyain komitmen kan? Hahahahahaha!"
Diam-diam aku tersenyum geli mendengar percakapan keduanya. Tapi rasa penasaranku mendorong aku mendengarkan percakapan mereka lebih lanjut. Kali ini si burgundy angkat bicara.
"Aduh! Komitmen yah? Masih penting hari gini? Lagian apa gunanya komitmen kalo dikhianati? Sama aja dong dengan nggak komitmen. Lagian kalo gue bilang, kekasih-kekasih kita itu orang-orang yang sangat serius kok berkomitmen dengan kita..berkomitmen untuk nggak berkomitmen."
Keduanya kemudian tertawa terbahak-bahak. Tak lama kemudian telepon genggam si burgundy berdering. Sepertinya salah seorang kekasihnya menelepon. Usai menutup telepon, ia buru-buru mengemasi tas kantor dan beberapa kantong penuh dengan belanjaan kebutuhan hidup bulanan.
"Beib, sorry... gue cabut duluan yah... si Kumis baru nelepon nih. Hehehehe. Lo yang bayar yaaa..."
Blueblack mengangguk mengiyakan permintaan burgundy. Keduanya kemudian berpelukan dan cium pipi kanan kiri lalu dengan tergesa-gesa burgundy meninggalkan kedai kopi menyisakan suara high heels nya yang nyaring.

Tiba-tiba kusadari sebuah tangan menggenggam tanganku hangat dan sebuah super electrical voice mengagetkanku.
"Kamu daritadi sibuk ngamatin meja lain, yang di depan mata di meja sendiri malah dicuekin."
Aku tersenyum sambil mengusap pipi pria bermata teduh itu.
"Don't get mad, honey... the rest is all yours."
 


Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta