Skip to main content

ADA YANG LEBIH TABAH DARI HUJAN BULAN JUNI






Puisi Agus Noor

ADA YANG LEBIH TABAH DARI HUJAN BULAN JUNI




Ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, ialah ia, yang terus mencintaimu, meski kau tak pernah menyadari, dan selalu berjaga dalam kesedihan dan kebahagiaanmu


Ialah yang menggeletar dalam doa-doamu, tanpa pernah kau menyadari, dan kau pun tentram karena merasa ada yang selalu menjagamu


Tanpa pernah kau menyadari, ia diam-diam menjelma bayanganmu, hingga bahkan pun dalam sunyi kau tak lagi merasa sendiri.


Ia, yang sungguh lebih tabah dari hujan bulan Juni, selalu berbisik lembut di telingamu, meski kau tak pernah menyadari, dan seluruh kenanganmu menjadi hangat dalam ingatan


Saat kau terisak menahan tangis, ia yang lebih bijak dari bulan Juni, merasuk ke dalam dadamu yang disesaki duka, hingga kau semakin memahami: betapa airmata mencintai orang yang paling dicintainya dengan cara menjatuhkan diri


Ia jugalah yang menyelusup ke paru-parumu, tanpa sekali pun pernah kau menyadari, ketika kau mendadak tersengal oleh entah apa, dan segalanya tiba-tiba saja menjadi terasa lega


Ketika senja, ia yang lebih arif dari bulan Juni, tanpa pernah kau menyadari, meruapkan hangat ke dalam teh yang tengah kau nikmati pelan-pelan, hinga kau merasakan sore begitu damai dan menentramkan


Ia jualah yang terus duduk di sampingmu, tanpa pernah kau menyadari, menemanimu dengan sabar memandangi cahaya senja yang perlahan memudar, dan kau bersyukur pada segala yang sebentar

Dan ketika kau tidur, ia yang lebih arif dari bulan Juni, tak lelah berjaga: dihapusnya debu kecemasan yang berguguran dalam mimpimu


Ada yang jauh lebih tabah dari hujan bulan Juni, lebih bijak, dan lebih arif, tetapi kau tak pernah menyadari, meski selalu ada di kesedihan dan kebahagiaanmu, karena ia tak henti-henti mencintaimu

2010

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta