Skip to main content

15 Menit

15 menit terdampar di Kota Tua Jakarta, lumayan juga. Keluar ongkos Rp.5.000,- dan Voila!! Saya sudah masuk ke Museum Fatahillah yang selama ini cuma sering saya nikmati dari luar. Tempat ini dikenal pula sebagai Museum Sejarah Jakarta. Awalnya, gedung yang akhirnya dijadikan museum ini bernama Gedung Staadhuis.

Selain berfungsi sebagai kantor Balai Kota, Gedung Staadhuis sekaligus berfungsi sebagai kantor Dewan Urusan Perkawinan, Kantor Balai Harta (Jawatan Pegadaian) dan kantor Pengadilan (Raad Van Justitie). Oleh karena itu gedung Staadhuis tersebut oleh masayarakat dikenal juga sebagai Gedung Bicara.

Koleksi museum ini adalah bangunan, patung, kendaraan, benda prasejarah dan lain-lain yang berhubungan dengan kronologis atau sejarah DKI Jakarta. 

Taman di depan Museum Fatahillah



Pintu masuk Museum Fatahillah






Dahulu, para tahanan juga dieksekusi di Staadhuis 




Ada yang tahu artinya ini?


Prasasti Ciaruteum, salah satu prasasti yang menjadi koleksi Museum Fatahillah



Pakaian tradisional petani Sunda


Alat bertani masyarakat Sunda



Peralatan memasak di dapur tradisional Sunda 


Arca Para Dewa 


Pakaian tradisional kaum pedagang Portugis. Sepatu dan legging-nya ngetrend lagi lho sekarang :))

Halaman belakang Museum Fatahillah

Ini sih cuma buat nakut-nakutin! Terbukti saya bebas melenggang dengan digital pocket camera saya


Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta