Skip to main content

Janji!

"Mana janji kamu, manaaa?"
Raisa bersungut-sungut.
"Iya maaf sayang, aku kesiangan. Tapi aku udah pasang alarm sebenernya."
Rayhan menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Ya kalo aku ngga dateng ke sini nyamperin kamu, kamu juga ngga bakalan bangun kan? Kamu tuh... aduuuuuuhhhh!!!!! nanti malem kakakku nikah terus udah sore begini aku masih di sini? Ketinggalan kereta pula gara-gara percaya sama kamu yang janji mau nganterin aku ke stasiun?"
Wajah Raisa pias.  Rayhan merasa bersalah karena lagi-lagi dia belum pernah sekalipun menepati janji pada pacarnya yang cantik ini.
"Ya udah gini deh, sekarang aku anter kamu yah langsung pake motor ke Jogja dan aku janjiiii sebelum kakak kamu sah jadi pengantin, kamu udah mejeng cantik di sana. Oke?"
Rayhan menggenggam tangan Raisa. Berusaha meyakinkan perempuan berambut ikal sebahu itu.
"Rayhan...dengerin aku. Aku mau kali ini kamu sungguh-sungguh berjanji sama aku dan nepatin janji kamu."
Raut wajah Raisa mulai serius.
"Iya aku janji aku bakal bawa kamu ke jog....."
Belum selesai Rayhan bicara, Raisa sudah menyentuhkan telunjuknya ke bibir Rayhan.
"Pssssttt...Bukan itu. Aku mau kali ini kamu janji sama aku bahwa mulai saat ini, kamu bukan pacar aku lagi. Aku...capek sama kamu."
Raisa kemudian berlalu meninggalkan Rayhan yang masih belum percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta