Skip to main content

Janji Lalat

"Beibiiii... udahan dulu yah.. aku ada janji jam 12 siang ini ketemuan sama orang."
Kali ini susah sekali membujuk si Beibi (panggilan kesayanganku pada suamiku) untuk menyudahi percakapan kami di telepon. Padahal biasanya dia paling cuek. Siang bolong begini mana pernah dia meneleponku. Tapi kali ini dia berubah seperti bayi saja, ingin bercanda-canda denganku lewat telepon. Suara Beibi yang merengek-rengek di seberang sana belum hilang juga. Padahal aku harus sudah ada di Kebun Binatang Kota jam 12 siang ini. Padahal sekarang sudah jam 11 siang dan perjalanan ke tempat pertemuanku itu memakan waktu setengah jam.
"Beibiiiii... ya udah kita telponan tapi aku sambil nyari taksi yaaaaah.."
Aku mengalah saja. Akhirnya kuputuskan untuk meneruskan percakapan dengan si Beibi di telepon sambil sepanjang perjalanan aku juga harus mengarahkan supir taksi yang ternyata baru sehari jadi supir taksi. Betapa rasanya aku ingin menggunakan tangan kananku untuk mencakar si supir taksi dan tangan kiriku kugunakan untuk mencakar beibiku yang siang ini sedang sungguh sangat terlalu protektif.

Setelah 47 menit perjalanan, sampai juga aku di kandang lalat di Kebun Binatang Kota sembari tetap menelepon Beibi. Aku menoleh ke kanan dan kiri, mencari-cari sosok pria berkemeja kotak-kotak merah yang berdiri di dekat kandang lalat. Nampaknya dia belum datang. Perhatianku kemudian beralih ke telepon genggamku dan ternyata Beibi sudah menutup teleponnya. Aku lega, walau belum sepenuhnya lega.

Semenit..tiga menit. Tiba-tiba kurasakan mataku ditutup dari belakang. Wangi parfum pria yang kukenal menyeruak. Aku segera menepiskan tangan yang menutupi mataku.
"Taraaaaaaaaa!!!!!!"
Aku kaget. Tidak percaya dia menepati janjinya, janjinya yang juga janjiku..janji kami.
"Beibiiiiiii!!!! Kok bisa sih kamu dateng ke sini?"
"Kalo sayangku aja bisa, masa aku enggak?"
"Kamu inget janji kita 15 tahun lalu?"
"Inget doooong! Dan ternyata kandang lalat ada kaaan?"
Dia tertawa terbahak-bahak. Ya, dialah Beibiku, pacarku, sahabatku dan sekaligus orang yang berjanji menemui aku jam 12 siang ini di depan kandang lalat Kebun Binatang Kota.

Aku dan Beibiku dulu adalah sahabat kecil yang lengket. Di mana ada aku pasti ada dia. Sampai suatu hari aku harus pindah ke luar kota mengikuti tugas Ibuku. Beibi, yang nama sebenarnya adalahTitan, mengajakku berjanji untuk bertemu lagi denganku 15 tahun tepat setelah hari itu, di kandang lalat Kebun Binatang Kota pukul 12 siang. Aku terus mengingat janji itu sebagai satu-satunya janji yang tak luntur dari ingatanku. Semua serba jodoh. Beberapa bulan lalu aku pindah lagi ke kota ini karena pekerjaan. Bertemu Beibi yang kantornya berseberangan denganku, berbagi kisah masa lalu hingga akhirnya berjanji mencoba menyusun kisah masa depan bersama. Namun aku tidak pernah membahas janji yang satu ini dengannya. Aku malu dan takut kalau-kalau dia tidak ingat. Tapi ternyata dia ingat. Inikah jodoh? Aku tidak tahu.


Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta