Skip to main content

Coba Lagi

"Mungkin kamu harusnya dapet Coba Lagi Award!" . Sial! Bisa-bisanya dia berkata seperti itu sambil tersenyum. Apa dia sama sekali tidak iba dengan keadaanku yang mendadak patah hati?
"Kamu sih, serba nggak pasti." 
"Memangnya dia pasti?" Cih! Sinis sekali sih kata-kataku.
"Seenggaknya dia pasti minta aku jadi pacarnya."
"Tapi kan kamu maunya sama aku, bukan dia."
"Tadinya.. tadinya aku mau banget sama kamu, Rangga. Ngarep, mimpi. Mimpi banget! Tapi kamu nggak mau sih!" 
"Aku mau. Tapi malu. Gengsi."
"Makan gengsi ternyata nggak enak, kan?"
"Kok bisa sih kamu mau sama dia?"
"Ya bisa. Aku suka."
"Katanya suka sama aku?"
"Bukan berarti nggak bisa suka sama dia juga kan?"
Aku menghela nafas. Menyesal. Selama ini aku mengingkari aku sungguh sangat menyukai Rara. Aku mencari yang lebih dan lebih dan lebih dari Rara. Tapi yang aku heran lagi-lagi cuma Rara yang bisa membuat aku rindu terus-menerus.
"Jadi aku nggak punya kesempatan lagi?"
"Itu kan menurut kamu."
"Jadi masih ada?"
"Masih."
"Caranya?"
"Kalo dia nggak mau lagi sama aku terus aku masih mau sama kamu."
"Oke! Aku coba! Aku yakin aku bisa!"
"Selamat mencoba!"

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta