Skip to main content

Bersinar Selamanya

"Aku ngga percaya dia kembali lagi dalam hidup kita. Apalagi setelah apa yang dia perbuat sama kita."
"Cinta yang mengembalikannya."
"Cinta siapa? Cintaku? Aku benci dia!"
"Kamu benci sama dia karena dia pergi padahal kamu berharap dia ada. Itu artinya kamu masih menginginkan dia, masih peduli padanya."
Aku menghela napas. Perempuan di hadapanku kemudian melanjutkan perkataannya.
"Kalau kamu tidak marah, tidak sakit hati, itu artinya kamu tidak peduli lagi. Kamu tidak sayang lagi padanya."
"Dia menyakiti hati kita."
"Dia manusia. Mungkin dia menyakiti kita karena kita juga tanpa sadar sudah menyakitinya."
Aku heran. Perempuan yang telah melahirkanku ini selalu saja berpikir positif.
"Memangnya mama masih cinta sama dia?"
"Masih."
"Setelah dia membawa pergi harta mama dan menghabiskannya dengan perempuan lain? Mamaaaahhhh...realistis dong, mah. Mama menyakiti diri mama sendiri."
"Siapa bilang?"
"Maah... matahari aja kalo pagi terbit dan kalo sore terbenam. Masa cinta mama bersinar terus?"
"Cinta mama bersinar selamanya untuk dia."
"Tapi dia dulu jahat, maaaaaahhh. Kenapa mama mengijinkan dia kembali?"
Mama kemudian membelai-belai kepalaku.
"Mama justru akan lebih sakit hati kalau harus melupakan dia. Melupakan orang yang telah menanamkan benih cintanya di rahim mama sampai akhirnya mama memiliki kamu. Buah hati kami yang paling berharga. Coba rasakan, bagaimana bisa mama membenci papamu sementara dia adalah kepanjangan Tuhan untuk memberikan hadiah terindah dalam hidup mama, yaitu kamu."

Aku langsung memeluk mama. Aku mengerti, cinta itu jauh lebih luas dari apa yang aku kira selama ini. Tiba-tiba aku teringat penggalan lagu Valentine dari Martina Mc.Bride " even if romance ran out of life you would still have my heart until the end of time..."

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta