Skip to main content

Gelap - Terang .. Hidup - Mati

Ada suatu masa di mana kita merasa matahari tidak cukup terang untuk menyinari hari-hari kita. semua terasa gelap. Tapi kita belum mati.
Ada kalanya semua beban yang harus kita pikul terasa terlalu berat sampai kita terseok-seok melangkah, terjatuh dan sakit teramat sangat. Tapi kita belum mati.
Mungkin..memang itulah saat tergelap dalam hidup. Saat di mana kita merasa sulit, merasa kalah, tidak berdaya apa-apa lagi. Tapi kita belum mati.
Seringkali saya bertanya-tanya, jika memang itu terlalu berat, terlalu sulit dan terlalu gelap, mengapa saya masih juga hidup? Mengapa saya tidak mati? Apakah saya memang tidak pantas mati? Atau mungkin DIA yang menghidupkan dan mematikan kita memang belum mau mematikan saya?
Mungkin memang masih ada setitik celah, secercah harapan untuk hidup. Tinggal kita yang harus terus bersabar dan tidak menyerah menemukan celahnya. 
Dan memang mungkin kita harus menerima kenyataan bahwa kita tidak bisa sendiri. Kita membutuhkan pertolongan dari satu-satunya yang mampu memberi terang saat gelap menjelang, yang maha menolong.

Pic taken from here


Mungkin kita harus yakin bahwa ada bintang yang tersembunyi di balik langit kelam, ada matahari yang akan selalu terbit lagi setelah tenggelam, dan ada harapan hidup selama kita belum mati :) 


Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta