Skip to main content

Sebelum Jam Sepuluh

 
“Jadi kapan?”
Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia.
“Kapan apa?”
Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung.
“Kapan kita bertemu lagi?”
Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup.
“Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?”
Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku.
“Memangnya ini pertemuan terakhir?”
Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya.
“Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.”
Kutatap matanya sambil kuputar-putar kedua bola mataku. Lalu kualihkan pandanganku ke jalanan yang penuh genangan air bekas hujan. Dari lantai atas ini biasanya aku paling suka memandangi jalanan yang memang tak pernah terlalu ramai itu. Tapi malam ini aku ingin sekali menikmati wajahnya utuh-utuh.  Wajahnya bagaikan seisi dunia. Memenuhi seluruh hatiku bahkan seringkali tumpah ruah. 

Ah.. tapi aku takut. Aku takut jatuh lagi jika memandang rambutnya yang jatuh lurus menyempurnakan keindahan garis-garis tegas yang membingkai wajahnya. Aku takut tak dapat tidur nyenyak menahan gemas melihat tahi lalat yang bertengger di hidung mancungnya. Aku takut menjadi lemah dan ingin menyandarkan tubuh serta jiwaku di bahu bidangnya.
“Itu berarti memang akan ada pertemuan lagi, kan?”
Ia menyibakkan sebagian rambut yang menutupi dahi dan pandangannya.
“Entah. Yang jelas aku tidak akan membuat janji bertemu dan melihatmu  lagi, selamanya.”
Mendengar perkataanku tiba-tiba ia tertawa terbahak-bahak.
“Kamu lucu. Kita berdua sama-sama tahu tidak akan ada yang namanya selamanya di dunia ini. Itu semua hanya ada dalam kisah Romeo dan Juliet. Tapi bahkan merekapun sesungguhnya tidak pernah bisa merasakan selamanya karena terlanjur mati.”
“Setidaknya selama aku hidup aku tidak ingin membuat janji bertemu denganmu lagi.  Sudahlah, aku mau pulang. Berlama-lama denganmu hanya memperbesar luka hati.”
Segera kumasukkan telepon genggamku ke dalam tas. Berkemas untuk pergi. Namun tangannya begitu cepat dan erat menggenggam buku jemariku.
“Tinggallah sebentar.”
Pandangannya meredup. Suaranya menjadi semakin melembut seolah memohon penuh harap.
“Baiklah. Jam sepuluh tempat ini tutup. Itu artinya waktu kita tinggal..tiga puluh tujuh menit lagi.”

Kusandarkan lagi bahuku di kursi lalu diam. Menunggu apa yang akan diperbuatnya.
Semenit.. dua menit.. dia hanya menghisap rokoknya sampai setengah batang, lalu dimatikannya dan sisanya ia letakkan saja di asbak. Kemudian ia mengambil rokok yang baru, menyulutnya lagi dan mematikannya kembali tanpa menghabiskannya. Begitu seterusnya sampai langit malam semakin hitam dan kulihat waktu menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh menit. Ia nampaknya kemudian mengerti waktunya tak banyak lagi. Diletakkannya rokok terakhirnya di asbak tanpa terlebih dahulu dimatikan. Wajah lelaki berkulit putih pucat di hadapanku ini tampak semakin pucat. Ia lalu menghela napas dan menyibakkan sebagian rambut yang menutupi dahinya.
“Aku tidak pernah meninggalkanmu. Aku hanya tidak bisa diam di rumah. Tapi aku pasti kembali karena semua orang pasti ingin pulang ke rumah. Dan kamu adalah rumahku.”
Rumah, katanya. Perempuan mana yang tidak ingin menjadi rumah bagi lelaki tercintanya.
“Tapi aku rumah yang tak pernah dirawat si pemilik. Lama-kelamaan aku bisa hancur. Atau mungkin aku memang sudah hancur.”
Seketika aku benar-benar merasa tak berdaya. Pertahananku runtuh. Air mata sedikit demi sedikit namun pasti membasahi pipiku.  Pipi yang selalu disentuh jemarinya dengan penuh kasih, dulu.
“Jika memang kau hancur maka aku akan membangunmu kembali. Karena aku yang memilikimu.”

BRAAAAKKK!!
Aku menggebrak meja restoran itu. Untung saja di lantai atas ini tidak ada pengunjung selain aku dan dia. Sementara pengunjung di lantai bawah tidak akan bisa mendengar kami. Sebab pemilik restoran selalu menyetel televisi  di  lantai bawah dengan volume yang maksimal.
“Bohong! Kamu bilang aku rumahmu, kamu bilang kamu yang memilikiku tapi kenapa kamu selalu silau oleh rumah lain. Kenapa? Kenapa!”
Melihatku meledak-ledak ia berusaha meraih jemariku namun tangannya segera kutepis.
“Yang lain memang selalu menyilaukan tapi aku selalu ingin kembali ke rumah. Aku hanya mencintai rumahku, kamu.”
Kali ini aku tak bisa lagi berpura-pura sedingin salju. Aku terlanjur jatuh dan rapuh. Dia lalu beranjak dari duduknya, menghampiri, merangkul dan memelukku dari belakang. Aku terisak lagi, menangis di dalam pelukannya. Aku ingin berteriak namun hanya mampu berbisik.
“Aku tidak ingin membuat janji untuk tidak melihatmu lagi, selamanya.”
“Pssstt.. jangan mengucap janji. Sudah jam sepuluh. Kita harus pulang.”
Ia tersenyum. Manis.
“Iya, kita pulang.. ke rumah.”

Comments

Popular posts from this blog