Skip to main content

Maya

Aku baru sadar.. sudah lama kita seperti ini ya?
Aku tidak pernah benar-benar ada untukmu, hanya bayanganku memanggil-manggil
Kau tidak juga pernah sungguh ada di sisiku, hanya suaramu berbisik-bisik
Lalu hati kita beradu berdegup, dan yang berdegup lebih kencang adalah pemenangnya
Berlomba berdebar juga, dan yang paling berdebar adalah yang lebih cinta
Berlomba cemburu juga, dan yang lebih cemburu adalah yang lebih rindu
Aku tidak ingat kapan terakhir kali kita bertemu, dan kamupun pasti sudah melupakannya
Satu-satunya hal paling nyata adalah kita pernah saling mencumbu. Indah ya? Iya kan?
Kita tidak pernah bicara. Tapi kita bahagia!
Kita bahagia dan maya!
Lalu mau apa?

Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta