Skip to main content

Tanpa Bunga

Riuh tepuk tangan membahana begitu lagu terakhir selesai kulantunkan. Pandanganku menyapu barisan penonton. Aku senang karena semuanya senang. Aku tersenyum melihat mereka tersenyum. Dan kamu.. kamu tidak tersenyum, tidak terlihat dan bahkan siluet tubuhmupun tak tercetak di dinding-dinding manapun di ruangan ini. Aku masih mencarimu, mungkin saja kamu hanya terhalang penonton lain yang mulai beranjak dari tempat duduk mereka dan bergerak menuju panggung.

Satu persatu tangan-tangan itu menjabat tanganku yang dingin. Mataku masih saja menyalang berpetualang meneliti sudut-sudut sambil bibirku menyunggingkan senyum dan tak lupa mengucap terima kasih pada mereka yang memberi selamat. Do'aku dikabulkan dan diam-diam aku mengutuki diriku yang suka sembarangan berdo'a. Dua malam sebelum ini aku memang berdo'a semoga kamu tidak datang. Tidak melihatku menyanyi. Bukan... bukan aku tak senang jika ada kamu. Aku hanya takut merasa gugup, aku takut terbebani keinginan untuk tampil baik, aku takut nyanyianku meleset, aku takut suaraku sumbang. Aku tak ingin kamu datang dan melihatku bergoyang-goyang di atas panggung seperti badut  malang yang ditertawakan orang-orang. Aku selalu ingin tampak sempurna di hadapanmu meski aku tahu pasti aku tidak.
Tatapanmu adalah setangkai bunga, senyumanmu adalah setangkai bunga, bayanganmu adalah setangkai bunga. Meski terkadang tak wangi, kamu adalah seikat bunga bagiku. Dan tak kudapatkan setangkai bungapun malam ini. Sedih hatiku.. keramaian itu, segala yang gegap gempita itu, ucapan-ucapan selamat itu, tawa-tawa yang membahana itu.. semua hanya pemanis. Bagai kupu-kupu yang selalu terbang di taman.

Orang-orang mulai berlalu. Gedung itu ,mulai sepi. Yang tertinggal hanya sisa gelak tawa dan aroma rokok bercampur pewangi ruangan. Akupun segera berjalan dengan langkah besar-besar dan cepat-cepat menuju kendaraanku. Aku pulang sekarang. Aku hanya ingin rebahan di kamarku, tertidur dan bermimpi tentangmu. Kamu saja. Kita saja. Cukup. Dan segera kutanggalkan semua yang menempel ditubuhku begitu aku sampai di peraduan. Kulemparkan saja semuanya. Kupandangi langit-langit kamarku dengan nanar. Tiba-tiba terasa sesuatu bergetar-getar. Dan segera kutahu itu suara handphoneku. Cepat-cepat kuraih. Tampak di layarnya deretan nomor tanpa nama. Nomor yang tak pernah perlu kusimpan di telepon genggamku karena telah terukir di hatiku. Sebuah pesan. Kubaca dengan mengejanya huruf per huruf agar tak cepat habis aku membacanya. Singkat. 
Hanya, "Kamu lagi nonton tivi ngga malem ini?"  
dan kutahu pasti, kudapatkan bungaku malam ini. 


Comments

  1. tanpa bunga tapi ada dukungan dari telepon ataw sms kan sama juga darl... ^_^

    ReplyDelete
  2. Hahaha... endingnya memang dapet sms dr yang dicari-cari itu meski sms byasa. that's why aku tulis "..dan kutahu pasti, kudapatkan bungaku malam ini." ^_^

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta