Skip to main content

Baik-Baik Sayang

Duuuuhhh... jangankan kekasih, kalau ada teman atau orangtua mengucapkan kalimat itu, hati saya ini rasanya langsung gimannaaaaaa gitu... Dada berdesir-desir, tenggorokan tercekat dan airmata mengambang di kelopak mata. Sungguh saya terharu! Rasanya seperti sangaaaaaatttt diperhatikan dan pastinya disayang. Daleeeeemmmm sampai ke palung hati. Aiiihhh... aiiiihhh.. saya jadi mellow deeeehhh...

Tapi ceritanya kemudian menjadi lain ketika saya tahu ada judul lagu Baik-Baik Sayang yang penyanyinya adalah WALI Band. Oh My God! Bukan benci atau alergi, enggak siiiihhh... tapi saya ill-feel gara-gara dulu pernah mendengar mereka membawakan lagu Emang Dasar yang awalnya liriknya terasa sangat kasar (harap maklum yaaaa... perasaan saya selembut sutera siiiihhh... hehehe!). Sejak itu, kalau mau bilang, "Baik-Baik Sayang" saya segera meralatnya dengan bilang, "Kamu Baik-Baik Yaaaa..."

Ajaibnya WALI, biar banyak orang bilang mereka norak, buktinya mereka makin eksis di acara-acara musik macam Dahsyat, Derings dan inBox. Akibatnya saya seringkali menyaksikan video klip Baik-Baik Sayang. Belum lagi saat saya pergi ke family karaoke dan ada teman yang menyanyikan lagu itu. Lama-Lama saya jadi suka video klipnya. Kalau lagu-lagu mereka terkenal MeTal (Melayu total), video klip Baik-Baik Sayang pun tak kalah MeTal (mellow total) hahaha... Alhasil saya pun jadi menghayati klipnya (bukan lagunya lhooo).

Sampai suatu hari saya membaca tweet milik Nungki Putri tentang acara nge-date nya di XXI Indonesia yang diisi dengan menonton film Baik-Baik Sayang. Saya yang tadinya bercandaan saling balas tweet akhirnya penasaran, kaya apa siiiihhhh filmnya. Dan beberapa hari yang lalu seharian saya sempatkan mencari banyak informasi yang berhubungan dengan Baik-Baik Sayang. Ternyata setelah mendapatkan sangat cukup banyak informasi tentang film ini, saya tertarik, karena ceritanya berlatar kehidupan relijius (ceritanya saya sedang tertarik dan bersemangat membahas hal-hal yang nyerempet-nyerempet relijius, maklum.. namanya juga "pendatang baru") dan tentu saja yang paling saya suka karena sepertinya jalan ceritanya syahdu alias MeTal (mellow total) hahahaha.

Sayangnya, sampai sekarang saya belum punya cukup waktu untuk menyambangi Baik-Baik Sayang. Jadi sementara cukup puas mencari segalanya di internet dulu. Tapi insya Allah saya akan menyempatkan diri menonton film ini. Nah buat yang belum sempat dan ingin menonton filmnya, saksikan dulu trailernya. Buat yang ogah sumargah nonton film ini, saksikan juga trailernya, hihihi. Dan buat yang sudah menonton, bagi-bagi testimonial doooonggg... hehehehe...

 So.....?



Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta