Skip to main content

Siapa Yang Lebih Mencintai, Akan Lebih Mudah Memaafkan

     Beberapa hari terakhir, saya banyak menghabiskan sore dan malam dengan pria ini. Saya memanggilnya Bapak. Sampai ketika suatu hari kami menikmati rintik hujan, Bapak bertanya,
"Kamu layu akhir-akhir ini. Maukah bercerita?"
Saya hanya tersenyum menanggapi kata-katanya. Bapakpun membalas tersenyum dan berkata,
"Kalau begitu, biar Bapak saja yang bercerita ya?"
Tanpa mempedulikanku, Bapak memulai kisahnya.
"Siapa yang lebih mencintai, dia yang akan lebih banyak memaafkan. Ini terjadi. Sungguh-sungguh pernah terjadi. Pada Bapak"
Bapak memandangku lalu menerawang. Mungkin mencoba mengingat dengan detil kejadian masa lalu yang akan mulai diceritakannya,
"Pernah Bapak jatuh cinta pada seorang perempuan. Cantik. Dia biduan terkenal waktu itu. Dia juga anak band. Rasanya semua anak muda di kota kami pernah mendengar nama bandnya. Tapi rupanya Bapak yang saat itu hanya penyiar radio amatir, punya keberuntungan lebih dari pemuda-pemuda lain yang naksir sama dia. Kami berkenalan dan dia akhirnya jadi pacar Bapak. Waktu itu mabuk kepayang pastinya iya. Di samping itu ada juga kebanggan luar biasa karena bisa memiliki dia.Semua berjalan dengan manis. Yaaah meskipun tidak mulus. Perempuan itu - mungkin karena terbiasa dipuja, dia tidak bisa melepaskan diri dari yang namanya pujian, hadiah, bunga dan rayuan kata-kata indah. Di mana ada itu semua, dia tergoda. Bapak sebagai pacarnya tentu saja berusaha mempertahankan dia. Berkelahi dengan pemuda ini itu, ribut dengan Si Anu Si Itu jadi makanan sehari-hari Bapak demi supaya perempuan yang Bapak cinta dan puja tetap di samping Bapak. Begitu selalu Bapak jalani. Yaaaa walaupun ada kalanya mengalami pasang surut. Rasanya lelaaaaaahhhh sekali saat perempuan itu mulai tergoda. Ya lelah batin ya lelah fisik. Bukan sekali dua kali Bapak marah pada pacar Bapak itu dan mengancam memutuskan hubungan kami. Tapi dia selalu minta maaf, meminta agar Bapak mengerti sifatnya itu dan berkata bahwa cuma Bapak satu-satunya yang dia cintai. Karena cinta Bapak memang berlebih, Bapak memaafkan dia."
"Bapak, apakah salah jika kita selalu memaafkan kesalahan orang yang kita cintai?", tanya saya.
"Lho? Tadi layu, sekarang kamu berkaca-kaca. Memangnya cerita Bapak mengharukan? Bapak tersenyum menggoda saya.
"Ah... Bapak. Ya sudah Pak, saya masih mau dengar lanjurtan kisah Bapak."
Bapak menggaruk kepalanya yang tidak gatal pura-pura lupa darimana harus mulai bercerita lagi. Baru setelah saya merengek Bapak mendongeng lagi,
"Bapak terus saja memaafkan dia. Dan diapun.. tiapkali tergoda, selalu pulang lagi pada Bapak. Sampai suatu hari dia datang pada Bapak dengan seorang pria dan mengatakan bahwa pria itu adalah calon suaminya. Kami putus. Bapak merasa sangat sakit hati dan tidak mau bertemu dia lagi. Dan seperti dalam sinetron, rasanya sungguh tidak enak makan, tidak nyenyak tidur. Butuh waktu lama untuk pulih. Baru saja pulih tiba-tiba dia datang lagi kemudian hari sambil menangis pada Bapak dan berkata bahwa dia masih mencintai Bapak dan semua itu terjadi karena kemauan ibunya. Bapak masih memaafkannya. Tapi kemudian dia mengajukan syarat bahwa jika ingin bersamanya, Bapak harus bisa lebih mapan daripada pria itu. Bapak menyetujuinya namun meminta waktu 1 tahun padanya. Kamipun bersama lagi. Tapi entah kenapa kali ini dia jadi lebih susah ditemui. Terakhir, Bapak tidak bertemu dengannya dan tidak ada kabar darinya selama 2 bulan."
"Bapak tidak menemuinya di rumah?" saya penasaran.
"Setiap hari Bapak ke rumahnya. Tapi dia tidak pernah ada. Dan kalaupun ada, dia selalu menyuruh Bapak cepat-cepat pulang dengan alasan dia mau pergi ada keperluan penting."
"Bapak.. kenapa bisa begitu?", saya sungguh tidak habis pikir mengapa Bapak menurut saja padahal perempuan itu jelas-jelas hanya mempermainkan Bapak.
"Tapi Tuhan baik... Suatu hari saat Bapak ke rumahnya, dia sedang bercengkerama dengan pria yang dulu katanya adalah pilihan ibunya. Tidak perlu Bapak jelaskan bagaimana mereka bercengkerama. Habis sudah kesabaran Bapak. Bapak langsung balik kanan dan sejak saat itu tidak pernah menggubrisnya meskipun berkali-kali dia meminta Bapak kembali. Sakitnya jauh lebih sakit dari sebelumnya. Dan Tuhan memang baik... dia memberikan Bapak pekerjaan yang jauh lebih baik dari pria itu, mengirimkan perempuan yang lebih cantik dan setia.. dan Bapak merasa sangat bahagia hidup bersama dia sampai sekarang."
"Buah dari kesabaran, atau... sebuah kebodohan yang mendatangkan keberuntungan, Pak? Hahahaha"
"Kamu paham kan cerita Bapak?" katanya.
"Intinya, Bapak cuma mau bilang bahwa saya jangan terlalu terlarut dalam cinta, bahwa.. kalaupun suatu hari saya harus kehilangan sesuatu yang saya sukai, Tuhan akan menggantikannya dengan yang terbaik untuk saya? Tapi apakah salah Pak, memaafkan kesalahan orang yang kita cintai? Bukankah Tuhan itu baik, Pak? Bukankah Tuhan tahu perasaan hamba-hambaNya? Lalu kenapa Bapak harus menceritakan kisah Bapak pada saya? Saya masih yakin dengan apa yang saya jalani, dengan apa yang saya lakukan dan saya masih yakin Tuhan akan mengabulkan permohonan saya, Pak.." tanpa sadar saya menangis sesenggukan.
"Lho? Kok nangis? Kamu terlalu terbawa perasaan, Nak.. Bapak cuma mau bilang bahwa kamu tidak perlu khawatir. Karena semua yang terasa sakit akan berlalu dan jadi biasa-biasa saja. Semua yang terasa sangat menyenangkan pun pada akhirnya akan terasa biasa. Semua pada akhirnya akan menjadi biasa-biasa saja. Jadi kalau kamu meyakini sesuatu, lakukan saja apa yang kamu yakini. Tidak perlu menyakiti diri sendiri sampai menangis seperti ini..."
     Dan petang itu saya habiskan dengan menangis menuntaskan sesak di dada. Dalam hati saya berkata, Saya hanya ingin bahagia..

******









Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta