Skip to main content

Saya Cinta Timnas


        Suatu hari saya dan 3 orang teman saya - 1 perempuan dan 2 pria, yang kebetulan tidak satu kantor tapi sepermainan, sedang menikmati pertemuan kecil kami sambil makan siang. Saya dan Bunga (bukan nama sebenarnya, hihihi) kebetulan tidak punya bahan obrolan. Jadi kami mendengarkan saja percakapan seru antara Toni dan Tono (maaf ini juga bukan nama sebenarnya) tentang Timnas Indonesia. Saya tidak terlalu ingat betul kata per kata nya. Tapi setidaknya begini bunyi percakapan mereka yang masih terekan dalam ingatan saya:

Toni : Payah! Timnas kita ngga pernah menang kalo maen lawan negara lain.
Tono : Udah tau ngga pernah menang, masih aja ditonton. Udah gitu masih aja ada yang rela jadi supporter! Mending pemainnya suruh pada pensiun aja trus jadi pengusaha bola sepak aja... Hahahaha!
Toni : Iya juga ya? Hahahaha...

        Obrolan itu berlalu begitu saja sampai akhirnya beberapa hari yang lalu kami bertemu lagi untuk makan siang di tempat yang berbeda dengan menu yang setipe dengan yang kami nikmati waktu itu. Kebetulan saat itu Tono belum hadir. Saya, Bunga dan Toni pun ngobrol ngalor ngidul sambil menunggu pesanan datang. Tak lama, muncullah Tono membawa bungkusan plastik dengan tampang cengengesan.Saya yang penasaran dengan bawaan Tono pun langsung bertanya:
Saya: Kamu bawa apa sih, Ton? Makanan ya?
Tono pun langsung mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong plastiknya dan dengan segera memamerkan pada kami.
Tono : Tererererereeeeennnggg!!! Ini kaos Timnas! Keren kan? Asli niiiiiihhh! Pesennya juga lama! Mahal lagi! Limited edition!
Toni  : Kok aku ngga dipesenin?
Tono : Yeee! Ini tuh susah banget dapetnya! Ini tanda cintaku sama Timnas Indonesia! Pokoknya garuda di dadaku!
Bunga : Huuuu dasar cowok plin-plan! Dulu aja najis-najis kalo liat Timnas di tivi. Sekarang ngakunya cinta. Makan tuh cinta! Mending makan pisang kaleeeeeeeee!!!!
Tono : Boleh doooonnngg! Kan people change!!!!
Saya : (manyun) Dasar!

***

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta