Skip to main content

MENGHIAS


Dan kau putuskan menemuiku
dalam biru
Haruskah kubiarkan kau berlalu
Dan kupikir kau memang telah berlalu

Perempuan yang bersamamu itu
Tahukah ia dari mana asalmu
Kau hampir membuatku pergi
Kau tak inginkan aku ada di sekelilingmu

Tapi aku tetap tinggal
Kalau-kalau aku menemukan alasan
untuk membencimu lebih dari sebelumnya
Seperti saat kau bilang
kau akan menghubungiku
Tapi tak pernah
Lalu kusingkirkan nomormu
Yang telah kuhapal dalam hati

Kau tinggalkan segala sesuatu di tempatku
Seolah aku punya banyak tempat untuk itu
Karena kau tahu aku tak akan keberatan
Kembalilah saat kau merasa telah tiba saatnya

Aku hitam dan putih 
Monoton dari kanan ke kiri
Kuhiasi rumahku
dengan hal-hal yang kau sukai
Kalau-kalau kau datang
Ya.. kalau-kalau kau datang..

Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta