Skip to main content

TESTER



Hari Minggu. Di dalam Mall di sebuah kota besar. Mata saya terbelalak melihat tulisan Discount Up To 70% dan Buy 1 Get 1 Free terpampang di depan counter kosmetik merk favorit saya. Langsung saja saya menyerbu dan ternyata yang sedang dibanting harganya adalah lipstick dengan warna-warna pastel yang membuat saya kalap. Meskipun sudah sangat berhasrat untuk membeli nampaknya saya harus tetap antri karena ada beberapa mbak-mbak yang juga sedang memilih-milih kosmetik di situ.


Akhirnya saya menghabiskan waktu sambil mencoba-coba lipstick tester (lipstick yang disediakan khusus untuk dicoba oleh para calon pembeli sebelum menentukan pilihan). Asik sekali saya mengoles-oleskan berbagai warna dari palet-palet lipstick yang tersedia ke telapak tangan saya. Seperti pada umumnya, tester itu dilihat-lihat mana yang kira-kira menarik hati, kemudian karena tidak diminati akhirnya dikembalikan ke tempat semula. Beruntunglah si tester kalau hanya begitu. Seandainya tester itu bisa bicara atau setidaknya merasa - yang mungkin lebih menyebalkan lagi bagi mereka (dibaca: para tester) adalah sudah dilihat-lihat, dicoba berkali-kali sampai puas tapi lalu sang pemakai memutuskan untuk berkata tidak suka dan menaruh kembali tester itu ke tempat semula dengan kondisi yang sudah tidak utuh dan rusak. 


Tapi yang namanya tester memang nasibnya menjadi benda yang diciptakan untuk dicoba. Bahkan sang penjual pun tidak bisa marah jika testernya rusak karena sudah jelas-jelas menempelkan label 'tester' pada barangnya. Terlalu lama mengamati tester membuat saya menjadi terlalu berempati pada mereka (lagi-lagi dibaca: para tester) dan akhirnya malah merasa diri saya sama seperti tester-tester itu.
 
Ini ceritanya mau curhat. Akhir-akhir ini saya merasa  yang pernah dan sedang saya sukai yang juga (rasanya) menyukai saya, memperlakukan saya bagaikan tester dan mereka adalah calon pembeli. Awalnya mereka tertarik melihat saya = calon pembeli yang tertarik melihat para tester. Mereka lalu memutuskan untuk melihat saya lebih dekat dan mencoba saya dengan menyelami hati saya dan memberi perhatian lebih dan membuat saya yakin benar bahwa mereka akan memilih saya. Ini sama dengan calon pembeli yang mulai mencoba memakai tester tak hanya sekali tapi berkali-kali. Tahapan selanjutnya adalah di mana mereka merasa sudah cocok dengan perempuan bermodel seperti saya tapi kemudian mereka tidak memilih saya melainkan yang lain yang seperti saya. Nah yang ini sama seperti ketika calon pembeli sudah merasa cocok dengan tester yang sudah mereka coba, maka mereka akan segera menemui pramuniaga untuk membeli benda aslinya dan meninggalkan testernya begitu saja.


Saya tidak ingin neko-neko. Saya hanya berharap suatu saat akan datang pria yang tidak melihat saya sebagai tester. Kalau saya adalah lipstick, saya ingin menjadi lipstick yang dijual bukan lipstick tester. Begitu juga seandainya saya menjadi parfum, kue kering dan lain-lain serta tentunya ketika saya menjadi saya, saya tidak ingin menjadi ajang percobaan dan pada akhirnya ditinggalkan. Saya tidak mau menjadi tester.

Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta