Skip to main content

Dulu dan Sekarang

#Dulu...
Pertama kenal kamu, aku nggak tau kamu itu siapa..
Kukira kamu biasa aja (well.. cuma sedikit lebih pintar dari aku sih tapi nggak lantas bisa bikin kamu disebut jenius)
Kupikir kamu cuma mahasiswa abadi yang jago omong kosong
Kamu cowok menyebalkan
Tapi menyenangkan diajak ngobrol apa pun
Kamu hitam tapi menarik, kadang-kadang manis
Kamu cuek tapi asik..
Aku yang tadinya malas lalu jadi sebal
Eh malah simpatik lantas suka
Akhirnya cinta...

#Di Tengah Jalan...
Tiba-tiba kamu sibuk
Tapi masih ingat aku
Masih suka telepon, ngeladenin aku ngobrol hal-hal nggak penting
dan akhirnya menertawakan kebodohanku..
Kamu tetap menyebalkan tapi aku suka..
Aku merasa disayang oleh kamu.. banget malah!
Aku bahagia..
Tapi yang dibilang orang-orang mulai mengusikku...
Sampai aku bertanya pada kamu
dan kamu membuatku makin buntu...


#Sekarang..
Aku sudah buntu..
Kamu sangat sibuk
SMS mu seperlunya
Teleponmu terasa penuh belas kasihan padaku
Tiba-tiba orang bilang kamu hebat..
Lalu wajah kamu, namamu ada di mana-mana..
Kamu terkenal...
Kamu something..
Aku seperti nothing.. oh memang nothing.. bukan seperti...
Aku bangga melihatmu begitu...
Kuakui kamu hebat..
Tapi bukan karena itu aku mencintaimu..
Aku mencintaimu karena kamu menyebalkan!
Bukan karena semua yang lain yang menempel di dirimu..
Aku sedih..
Orang mengira aku pengagum rahasiamu.. secret admirer..
Kamu memperlakukanku seperti aku fans beratmu..
Aku bukan seperti itu..









Comments

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta