Skip to main content

Sebentar Untuk Yang Lama


Sungguh tak menyangka harus bertemu lagi dengan dia di tempat ini. Delapan tahun berlalu sepertinya tak juga mengubah sosoknya. Aku tidak mau menggambarkan seperti apa dia karena aku takut cemburu bila di antara kalian kemudian ada yang jatuh cinta padanya. Konyol ya? Hahaha!

Rumah sakit ini sebenarnya bukan tempat yang tepat untuk sebuah rendezvous. Ah! Tapi memang seringkali begitu, pertemuan berkesan terjadi di tempat dan waktu yang biasa-biasa saja atau bahkan tak diinginkan. Seperti adegan klasik dalam film-film, kami bertubrukan. Saat itu aku baru saja selesai bertemu dengan dokter kandunganku sementara dia baru saja menjenguk teman baiknya yang dirawat di rumah sakit ini (hal itu kuketahui kemudian di sela-sela basa-basi kami mengawali percakapan).

"Maaf ya aku nggak datang ke pernikahan kamu." Kalimat pembuka kenangan pertama meluncur dari bibirnya setelah berbagai macam obrolan pengalih topik dan beberapa kali ada jeda di antara kami. Sekitar setengah jam yang lalu aku sempat terkejut karena dia berinisiatif untuk lebih lama bersamaku dengan mengajak aku minum di kantin rumah sakit.
"Hahaha! Sudah begitu lama. Aku malah sudah hamil untuk ketiga kalinya. Kenapa baru minta maaf sekarang?" tanyaku lembut tapi menusuk.
"Karena baru sekarang kita ketemu." Aku tertawa mendengar ucapannya.
"Hello? Kamu itu hidup di jaman apa sih? Kan ada handphone. Kamu juga tau aku nggak pernah ganti-ganti nomor." Aku masih tertawa karena heran akan kebodohannya.
"Aku maunya ngomong langsung." ucapnya serius. Aku semakin merasa pernyataannya sungguh tak masuk akal.
"Kalo kita nggak pernah nggak sengaja ketemu seperti sekarang ini, mungkin lebaran kuda kamu baru ngomong langsung sama aku."
"Justru karena aku percaya kita bakal ketemu lagi entah kapan seperti sekarang ini, makanya aku nggak mau ngomong lewat telepon atau sms."
"Nggak berubah!"
"Tapi suka kan?" katanya tersenyum jahil.
"Suka tapi benci!" sahutku ketus dan mencoba untuk tidak menatap matanya.
"Terus? Dulu ninggalin aku karena benci atau karena terlalu suka?" Dia masih saja tersenyum. Benci aku melihat senyumnya itu.
"Karena kamu nggak butuh aku!" Nada bicaraku seperti sedang merajuk sambil bercanda tapi sebenarnya pedih yang kurasakan. Kalimat sederhana itu membuatku teringat semua yang waktu itu terasa serba rumit, serba susah dan serba salah. Dadaku menjadi sesak. Mataku sedikit berkaca-kaca tapi aku mencoba menahannya.
"Jangan nangis. Nih! buat persiapan menghapus air mata kamu sebentar lagi." Dia memberikan saputangannya padaku.
"Kenapa sih? Kenapa kamu selalu tau apa yang aku rasain?" Aku mulai tidak mampu menutupi air mata yang mengambang di mataku.
"Karena aku selalu berusaha memahami kamu."
"Buat apa memahamiku kalau akhirnya kamu pergi dari aku?" Sekarang sebutir dua butir air bening menetes dari mataku.
"Eits! Tunggu deh.. coba liat perempuan hamil yang sudah jadi istri dari laki-laki muda yang karirnya cemerlang dan juga seorang ibu bagi dua anak-anak hebat? Trus liat juga seorang laki-laki mengenaskan yang dengan segera orang akan tahu kalau laki-laki itu pasti bujangan kesepian yang masih menyediakan hatinya buat perempuan hamil itu." Tenang sekali dia bicara dengan senyuman tersungging di bibirnya. Apa dia tak punya hati? Aku sedih pedih perih begini dan dia tersenyum? Tahukah dia bahwa senyumannya itu bagaikan sebuah sindiran yang tepat menghujam jantungku?
"Kamu yang minta aku ninggalin kamu!" Aku emosional.
"Apa pernah aku berucap meminta kamu ninggalin aku? Nggak pernah, Larra..." Ya Tuhan! Caranya menyebut namaku membuatku rindu.
"Memang nggak pernah. Tapi setiapkali aku tanya apa kamu rindu aku, kamu cuma diam. Tiapkali aku tanya apa aku penting buat kamu, kamu diam. Aku tanya apa kamu mikirin aku, kamu suma ketawa. Aku mau tau apa kamu cemburu sama aku, kamu bilang enggak. Tiap aku bilang aku kangen sama kamu, kamu bilang jangan berlarut-larut memanjakan perasaan. Tiap aku mikirin kamu, kamu suruh aku untuk nggak mikirin kamu. Bahkan sampai aku tanya apa artinya aku buat kamu, kamu cuma jawab entah." Hhhh... lelah rasanya mengungkapkan semua yang mengganjal di hatiku.
"Mestinya kamu lebih bisa menangkap isyarat-isyarat yang aku kasih. Nggak semua hal harus diungkapkan dengan kata-kata." Dia menghela nafas. Seperti sedikit menyesali yang terjadi tapi kemudian dia mengatur dirinya menjadi biasa lagi.
"Aku tau. Tapi aku bukan Tuhan yang bahkan sebelum hambaNya berpikir dan merasa Ia sudah mengetahui semuanya. Terus apa kamu bisa membaca isyarat permintaan tolongku waktu banyak laki-laki yang mendekati aku menawarkan kepastian dan aku bener-bener berharap kamu terpacu untuk menunjukkan sama semua orang kalau aku ini milik kamu. Tapi kamu nggak melakukan apapun. Aku bingung harus gimana..." Nada suaraku melemah, aku terisak. Dia mengusap-usap pundakku dan bicara perlahan,
"Aku minta maaf.. aku minta maaf buat semuanya."
"Udah dari dulu aku maafin." Air mataku kuseka dengan saputangannya.
"Apa sekarang kamu bahagia sama dia?" tanyanya.
"Aku bahagia. Aku mencintai dia tapi aku masih sering kangen sama kamu dan aku rasa aku juga masih cinta sama kamu."
"Aku harus gimana?" Dia bertanya seperti ingin menebus kesalahan masa lalu.
"Biar aja semuanya seperti delapan tahun terakhir ini. Sekarang aku lega karena seenggaknya aku tahu kalau kamu cinta sama aku.
"Makasih." Dia tersenyum. Bukan senyum yang daritadi aku lihat. Ini senyum yang beda. Senyum yang penuh kelegaan.
"Janji dulu kamu nggak akan jadi bujangan seumur hidup." Aku merajuk lagi.
"Nanti! Kalo udah ada perempuan yang bisa bikin aku cinta sampai tersiksa dan gila seperti aku cinta sama kamu, aku janji aku akan kasih pernyataan buat dia dan melingkarkan cincin di jari manisnya. Gimana? Oke kan?"
"Oke!" Aku lega. Semuanya telah selesai. Dia sudah kumaafkan walaupun tak mungkin aku melupakannya.

Sisa pertemuan itu kami habiskan untuk mengobrol ringan seputar aktivitas kami akhir-akhir ini. Aku lalu berpisah dengannya tanpa berjanji untuk melakukan apapun.

Comments

  1. yolla! ini bagus! dari dulu km emang berbakat bikin cerita..udah sering kirim ke majalah atau penerbitan yol? -- Gitonk

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta