Skip to main content

RUSUH!!!


Gerimis..
rintik-rintik...
Kuurungkan niatku menyapa mentari yang malas
Akhirnya aku bergelung... ah! Bosan!

Dan kudengarkan lagu itu..
lagu yang membuat anganku melayang...
Hey! Tapi kemudian terlintas wajahmu..
baru kuingat aku belum menengokmu semalaman...

Kupandangi dirimu dari sisi yang biasanya...
Biasa.. dingin.. tenang...
Lalu tiba-tiba ada secuil sisi darimu
yang kusadari telah lama tak kuamati...

Ya Tuhan..
sudah lama aku melupakannya...
Sudah lama sampai hampir tak kutahu
banyak yang berubah...
Ada yang menarik!
satu yang lama yang selalu mengingatkanku padamu..
satu yang selalu melambungkan khayalanku..
melayangkan anganku..
lagumu..
lagu lama yang memang sudah lama tak kudengar...
Kucoba dengarkan kembali
sembari kuputar juga laguku yang naif
yang penuh dengan khayalan
biar semua bercampur baur..
teraduk-aduk menjadi satu...
Tak ada harmoni..
yang ada berbagai rasa, bermacam nada yang tak bersinergi..
Tak ada kompromi!
RUSUUUUH!!!!

Comments

  1. wesss Puisi yang bagus sobat, sobat salam kenal yah! saya suka puisi sobat, well jangan berhenti berkarya.. semangat

    Salam ceria

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Hay juga sob! Terimakasih ya kamu sudah menyukai tulisan saya, Sob!
    Salam kenal juga :D

    ReplyDelete
  4. kerinduan.....cinta memang membuat orang rusuh...jadi gak jelas apa yang mesti dilakukan......

    ReplyDelete
  5. Iya.. seperti saya, rusuuuuhhh!!! Lusuh pula kalo lagi rindu, ditambah misuh-misuh, hahaha!
    Thank you, Um Bontot...

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta