Skip to main content

Saat Perasaan Merasakan Rasa...


Aku tidak bisa dan tidak akan pernah mengungkapkannya dari mulutku kepadamu. Tapi perasaanku ini sangat kuat merasakan bahwa entah sedikit atau banyak, kamu punya rasa terhadapku. Aku tidak ingin memaksamu mengaku karena nanti kamu jadi malu. Lagipula kamu juga sudah mengikrarkan diri dalam sebuah janji suci. Masa iya aku tega membuat mukamu bersemu-semu merah?

Tidak ada yang salah dengan apa yang kamu rasakan untukku. Mungkin awalnya hanya karena kita sering berinteraksi. Atau memang aku dan segala yang melekat padaku terlalu menarik untuk luput dari pengamatanmu? Hahaha! Sombong sekali aku. Tapi aku memang yakin begitu. Aku juga yakin kalau aku tidak salah. Sungguh! Coba saja kamu tanyakan hatimu, pasti dia bilang benar.

Aku senang kamu peduli padaku. Kalau kamu tahu, aku juga sebenarnya tak mengacuhkanmu. Aku suka semua ocehanmu, ejekanmu, bercandaanmu, pembelaanmu setiapkali ada yang berusaha mengintimidasiku. Aku juga tidak suka jika ada yang berbuat tidak adil padamu. Aku juga iba tiapkali kamu kelelahan atau bersedih. Mungkin aku sayang kamu. Tapi... semua ini ada tapinya. Rasa sayang ini bukanlah sebuah pengkhianatan dariku terhadap janji yang telah kamu buat pada istrimu dan yang pasti pada Tuhan kita. Aku peduli dan menyayangi kamu seperti kamu adalah bagian dariku, seperti kamu adalah diriku hanya saja berbeda jenis kelamin. Jadi tidak mungkin aku berselingkuh dengan diriku sendiri, tidak mungkin aku cinta pada diriku sendiri seperti aku mencintai laki-laki yang ingin kujadikan kekasih hati. Aku menyayangimu hampir seperti aku menyayangi diriku sendiri.

Semoga semua ini tak berakhir, semoga semua orang bisa benar-benar mengerti tentang ini. Semoga tak ada yang marah apalagi tak tahu apa-apa dan lantas menghakimi.

- Thank you for caring me -

Comments

  1. hihihihi....ciapa tuuu..."istri?" menarik banget ni bacaan...aku sampe baca dua kali lo...kalo si tertuju itu duda gmna?

    ReplyDelete
  2. Duda? Jadi Duren donk! Duda keren! ;P

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta