Skip to main content

Pulang


3 April 2010...

Pukul 18.49 WIB.
Aku meninggalkan kota ini dengan penuh kebahagiaan yang berselimutkan kebimbangan. Bagaimana bisa aku menghapus rasa yang sebagian tertinggal di kota ini dan sebagian lainnya lagi kubawa pulang bersamaku. Setelah sekian lama bergelut dengan air mata, rasa marah, rasa benci, akhirnya aku bisa tersenyum dan tertawa lebar-lebar... dalam hati saja pasti. Aku malu menunjukkan pada dia bahwa aku sedang bahagia. Bahagia karena ada dia, bahagia bisa melihat dia, bahagia karena diam-diam memergoki dia menyembunyikan senyuman bahagianya, bahagia merasakan dia membelai rambutku meski aku tidak melihatnya, bahagia merasakan getaran ini dengan dia - orang yang kuinginkan bisa membuatku bahagia saat-saat ini.

Pukul 19.07 WIB.
Mataku terbuka setelah aku sekejap terlelap. Kereta berhenti di stasiun persinggahan selanjutnya. Masih di kota ini. Mengapa perjalanan meninggalkan kota ini begitu lama? Semuanya seperti bergerak lambat-lambat. Atau hanya perasaanku saja yang belum rela meninggalkan kota ini. Terbayang lagi semuanya. Tapi sekarang yang ada bukan lagi rasa bahagia. Ia sedang bersembunyi jauh di dalam. Bimbang... bimbang... oh aku bimbang. Akankah semuanya menjadi sama lagi seperti sebelum ini? Bisakah aku tak berharap lebih lagi? Aku kembali mengingat semua kebahagiaan itu dan dadaku terasa sesak. Air mataku mengalir begitu saja. Segera kututupi wajahku dengan jaket agar para penumpang yang sedang lalu lalang mencari tempat duduk tidak melihatku begini. Aku terisak. Bahuku berguncang semakin kencang. Hatiku penuh tanda tanya. Apa yang aku tangisi padahal jiwaku penuh oleh kebahagiaan.

Pukul 19. 13 WIB
Kereta mulai melaju lagi. Aku masih memandangi pemandangan yang biasa saja melalui jendela dengan perasaan sungguh tak biasa. Aku membayangkan hatiku saat ini beralih fungsi menjadi ring tinju di mana kebahagiaan dan kebimbangan sedang berduel seru dan aku ragu akan ada salah satu dari keduanya yang memenangkan pertandingan kali ini. Tiba-tiba teringat lagi tentang saat itu. Waktu yang cuma secuil tapi berarti banyak buatku, menyisakan sepenggal cerita bersambung... ya... semoga bisa bersambung. Aku memandang ke jendela, memejamkan mata, mengingat semua dengan segala gejolak rasa yang teredam dalam diam. Hari ini aku pulang tapi nanti aku kembali lagi. Semoga dia tidak keberatan.

Comments

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta