Skip to main content

Melulu Tentang Aku


Hidupmu, hari-harimu, siang-malammu, bahkan situs jejaring sosialmu...
mengapa melulu tentang aku?
Apakah baru setelah bertemu denganku hidupmu jadi lebih menarik?
Apakah karena aku seperti cat air yang mewarnai hari-harimu yang membosankan sehingga banyak orang sebal menghadapimu yang suka menekuk wajah?

Lagi-lagi melulu tentang aku...
Apa kamu tidak bosan menulis tentang aku?
Apa kamu tidak lelah bicara tentang aku?
Apakah kamu pantang menyerah bermimpi tentang aku?

Melulu tentang aku....
Kamu yang tidak bisa melupakanku...
Kamu yang menderita karena aku tak mau denganmu...
Kamu yang hampir mati karena tak bisa memiliki aku...

Kamu... melulu tentang aku...
Tapi apa kamu tahu aku muak padamu...
Apa kamu sadar aku selalu ingin kamu pergi atau hilang atau hanyut atau bahkan mati sekalian?
Mengapa kamu tak merasa bahwa aku tidak pernah, tidak pernah ingin dan tidak berusaha peduli....
dan kalaupun aku peduli padamu, itu karena aku peduli pada diriku sendiri...
diriku yang ingin kamu tak ada dalam hidupku!

Comments

Post a Comment

Popular posts from this blog

Bapak Peri

Guys.. seperti apa Bapakmu? Tampan dan bisa dengan bangganya kamu pamerkan ke teman-teman sekolah kamu setiapkali ada acara pengambilan raport plus kaya raya dan bisa mengabulkan keinginanmu terbang menjelajah dunia dengan jet pribadi setiap liburan tiba, sekaligus menguasai ilmu beladiri seperti 7 manusia harimau dan membuat teman-teman hidung belangmu lari tunggang langgang? Atau malah pendiam dan sekali marah, raja rimba pun kalah? “Ah! Siapa bilang Bapakku galak? Masih galakkan Ibuku. Bapak itu kalau Ibu marah, biasanya lebih suka menghindar dengan duduk di teras sambil merokok.” “Bapakku sih mirip komentator bola. Segala apa aja di rumah pasti dikomentarin sama dia. Semua serba salah deh.” “Bapak baiiik banget. Aku minta apa aja pasti diturutin. Nggak pernah ngelarang dan nggak pernah bilang enggak. Enaklah pokoknya kalo Bapak. Nggak kayak  Ibu!” “Hmm.. Bapak yah? Bapak yang sekarang jadi suami Ibu? Atau Bapak yang udah cerai sama Ibu dan udah nik

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta