Skip to main content

Jendela


Hari ini aku bolos kuliah lagi. Ini hari ketiga aku membolos kuliah. aku tidak tahu kenapa, rasanya muak sekali berada di kampus. Rasa muak itu mencapai puncaknya empat hari yang lalu. Tepatnya ketika aku menggenggam surat peringatan dari fakultas. Surat itu berisi teguran karena sudah dua semester ini nilaiku merosot drastis. Saat menyerahkan surat peringatan itu, wajah dosen pembimbing yang ditugasi oleh fakultas untuk menaikkan nilai-nilaiku terlihat letih dan penuh beban. Dia bilang, jika semester ini nilaiku tidak juga membaik, dengan terpaksa aku akan di drop out. Professor berusia 60 tahun an itu bilang aku tidak mau berusaha. Dia tidak tahu, betapa aku berusaha keras. Tapi tetap saja sulit menyembuhkan luka itu.

Semua ini karena luka itu. Luka yang ditorehkan pacarku tepat delapan bulan yang lalu. Sulit percaya bahwa perempuan yang lembut, sopan, dan halus tutur katanya itu, mampu menusukku dengan pisau tajam tepat di ulu hatiku. Betapa hancurnya aku ketika suatu malam aku melihatnya mencium dan menggandeng mesra teman baikku. Sebuah kejutan yang benar-benar mengejutkan telah aku terima sehari sebelum hari ulang tahunku. Sekarang aku memang sudah putus dengannya. Tapi bukan berarti bekas luka dan rasa sakitnya bisa terputus begitu saja. Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti apa yang aku rasakan. Meskipun tak sedikit orang yang menghiburku. Walaupun banyak temanku yang berusaha menggelar pesta ulang tahunku semeriah mungkin agar saat itu aku bisa sedikit melupakan perempuan yang paling aku cinta sekaligus aku benci. Dia adalah perempuan pertama yang mengajari aku bagaimana seorang laki-laki seharusnya mencintai seorang perempuan. Dia juga perempuan pertama yang membuat aku mengerti bahwa pengkhianatan selalu menghasilkan rasa sakit.

Hari ini hari ketiga aku bolos kuliah. itu berarti sudah tiga pagi aku memperhatikan dia dari balik jendelaku. Sejak dulu aku memang punya kebiasaan menikmati pemandangan dari balik jendelaku dan aku hapal setiap orang yang sering lalu lalang di depan rumahku. Sampai tiga hari yang lalu aku melihat sosok kecil yang rapuh itu belajar berjalan. Matanya bulat, rambutnya hitam berponi dan panjang tergerai sampai bahu. Wajahnya bersih dan seluruh yang terdapat di wajahnya bagaikan ukiran yang indah yang bisa membuat seiapapun betah memandanginya lama-lama. Cantik sekali. Tapi tengoklah ke bagian bawah tubuhnya. Kaki kiri gadis itu pincang dan terbalut perban. Setiap hari ia datang sendirian di taman depan rumahku. Begitu datang dengan tongkat kayunya sambil tertatih-tatih, ia pasti akan duduk di bangku sambil mengamati setiap orang yang lewat di sekitarnya. Lalu ia tersenyum manis sekali seolah-olah sudah lama dia tidak merasakan hangatnya sinar matahari pagi. Kemudian dia berdiri lagi. Berjalan bolak-balik dengan tongkat kayunya, kemudian dia letakkan tongkat kayunya itu dan mencoba melangkah tanpa penyangga sama sekali. Rupanya dia ingin bisa berjalan dengan normal. Aku yakin awalnya dia tidak pincang. Mungkin dia jadi begitu karena kecelakaan. Setiap kali melihatnya berlatih, aku selalu memandang penuh rasa cemas. Saat ia berhasil mencapi targetnya, aku diam-diam akan tersenyum dan ikut bahagia. Tapi jika dia jatuh dan meringis kesakitan, maka hatiku pun miris. Sebab aku tahu ia harus menahan sakit luar biasa. Tapi lalu dia bangun dan tersenyum seolah menyemangati dirinya sendiri. Dia berjalan lagi, terjatuh lagi dan begitulah seterusnya. Hari ini dia masih datang dan belajar berjalan lagi. Aku tidak tahu mengapa tapi aku merasa malu pada gadis itu. Dia begitu muda, tapi dia kuat menahan sakit, terjatuh, lalu bangkit lagi, jatuh lagi, sakit lagi, dan bangkit lagi. Dia seperti tidak peduli siapa yang menyebabkan dia jadi seperti itu. Dia bahkan tidak mendendam, dia terlihat tidak ingin mengungkit masa lalu. Yang dia pedulikan hanya bagaimana dia harus terus belajar jalan sampai kembali sembuh. Sementara aku, seorang laki-laki dewasa berusia 23 tahun, tidak juga bisa sembuh dari lukaku. Terus-menerus memupuk dendam dan menyalahkan masa lalu.

Tiba-tiba aku ingin pergi ke taman depan sekarang juga. Ya, aku tahu apa yang akan aku lakukan. Aku akan menemui gadis kecil itu, mengobrol dengannya, dan mulai besok, setiap pagi aku akan memberinya semangat. Aku juga tahu apa yang harus aku lakukan untuk diriku sendiri. Aku harus belajar cara memaafkan orang lain dari gadis kecil itu. Sekali lagi aku menemukan seorang perempuan. Dan sekarang, perempuan itu mengajari aku bagaimana memaafkan dan meredakan rasa sakit.

Comments

  1. yooollll..ayo bikin kumpuln cerpenmu yoolll..kasih ke penerbit..aku mau bantuin bikin desain covernya :D --Gitonk

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

Sebelum Jam Sepuluh

  “Jadi kapan?” Ia lekat menatapku. Garis bibirnya tak menyunggingkan senyuman maupun kekecewaan. Tapi ada tanda tanya yang terbaca. Ada kegamangan yang terasa. Ada harapan yang mungkin akan sia-sia. “Kapan apa?” Aku berusaha menebak-nebak maksud pertanyaannya dalam hati. Wajahku mungkin setenang air kolam dan sedingin salju yang aku sendiri belum pernah sekalipun melihat bentuknya. Tapi jangan tanya bagaimana dengan hatiku. Rasanya seperti diterjang gulungan ombak besar dan ditiup puting beliung. “Kapan kita bertemu lagi?” Mata yang bagaikan kelereng itu Nampak semakin besar saja. Tapi tak ada cahaya di sana. Redup. “Apa harus ada janji untuk bertemu lagi?” Salju di wajahku sepertinya makin dingin, sementara gulungan ombak di hati mulai mengoyakkan pertahananku. “Memangnya ini pertemuan terakhir?” Kini matanya seperti bola ping pong. Lebih besar daripada sekedar kelereng namun tak memantulkan cahaya. “Jangan suka mendahului takdir. Siapa tahu nanti kita bertemu lagi.” Kuta